GANGGUAN SOMATOFORM - Kumpulan Materi
Breaking News
Loading...
Jumat, 17 Februari 2012

GANGGUAN SOMATOFORM

21.34

Dikutip dari buku kesehatan Mental, Senium Yustinus 2006
Gangguan Somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam bentuk gangguan fisik yang melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety. Individu mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan.
Gangguan somatoform merupakan kelompok gangguan yang meliputi symptom fisik (misalnya nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai symptom dan keluhan somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan stress emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (oleh Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007)
Pada bagian ini akan dibahas tentang berbagai gangguan somatoform, antara lain gangguan somatisasi., hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan dismorfik.

1. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Diagnosis gangguan somatisasi digunakan untuk individu-individu yang banyak menagalami keluhan-keluhan somatic, berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena suatu penyebab fisik yang actual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan bahwa penyebab dari keluhan-keluhan mereka adalah factor psikologis dan mereka tetap mencari pengobatan.
Gangguan ini sifatnya kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun), dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007).
Adapun menurut DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi (APA, 1994):

  1. Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda (misalnya kepala, pundak, lutut, kaki).
  2. Dua simtom gastrointestinal (misalnya diare, mual)
  3. Satu simtom seksual yang berbeda dan rasa sakit/ nyeri (misalnya ketidakmampuan ereksi)
  4. Satu simtom pseudoneurologis seperti pada gangguan konversi, Menurut Davison & Neale (2001) dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007,  gangguan ini diduga terjadi karena pasien terlalu sensitif dengan sensasi fisik, terlalu berlebihan dalam memperhatikan sensasi tersebut, atau menginterpretasikannya secara berlebihan. Pandangan behavioral menganggap bahwa gangguan ini adalah manifestasi kecemasan yang tidak realistis pada sistem ketubuhan.

2. Hipokondriasis

Hipokondriasis merupakan kondisi kecemasan yang kronis dimana pendrita selalu merasa ketakutan yang patologik terhadap kesehatannya sendiri. Penderita merasa yakin sekali bahwa dirinya mengidap penyakit yang parah (serius). Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi, sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki gangguan yang parah bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang diteniukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan menunjukkan kebalikannya (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007).
Dikutib dari buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A. Supratiknya
. Penyebab hipokondriasis dapat bermacam-macam, antara lain:

  1.    Perhatian yang berlebihan pada fungsi-fungsi tubuh di masa kecil, entah karena meniru orang tua atau karena pernah sakit keras sehingga menjadikan yang bersangkutan pusat perhatian di keluarganya. Dengan kata lain, hipokondriasis merupakan gangguan khas orang-orang yang haus perhatian dari orang lain.
  2.    Frustasi tertentu sebagai faktor pencetus. Misalnya, seorang gadis yang tiba-tiba mengeluh menderita macam-macam penyakit sesudah putus hubungan dengan tunangannya.
  3.    Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan sosial. Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu menderita sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam penyakit setiap kali menghadapi tantangan hidup.

Contoh kasus:
Ny. Wati, 40 tahun, datang ke psikiaten atas nujukan dan seorang dokten ahli penyakit dalam. Menunut keterangan doktenyang merujuk, Ny. Wati datang untuk menjalani pemeniksaan kanena ada sesuatu yang mengganjal di tenggonokannya. Namun basil pemeni ksaan menunjukkan tidak ditemukan kelainan apapun padanya. Ketika hal mi dibenitahukan pada Ny. Wati, ia meminta dokter membeni surat pengantan agan dapat menjalani pemeniksaan lengkap (general check-up). Bendasankan ketenangan Ny. Wati sendini, ia mengaku sudah menasakan adanya sesuatu yang mengganjal di tenggonokannya sejak 3 bulan tenakhin. Ny. Wati menduga ia tenkena kanken atau penyakit lainnya. Ia sempat ke dokten umum, bebenapa ahli TH7 dan 2 onang ahli penyakit dalam—tenmasuk dokten yang menujuk— untuk mengetahui penyakitnya. Namun tidak ada seorangpun dokten yang mengetahui penpakitnya, dan mi sangat mengecewakan bagi Ny. Wati. Sebab ia menasa hidupnya tidak tenang, dan tidak dapat melakukan aktzvitas dengan baik, kanena memikirkan ten tang penyakitnya mi, dan kemungkinan bahwa ia akan tenkena kanken seperti kakak kandungnya. (sumben: kasus pnmbadi)

3. Konversi

Dalam kasus-kasus gangguan konversi, individu menderita satu atau lebih simtom fisik yang berat dan yang sangat melumpuhkan, tetapi dasar organik dari gangguan ini tidak ditemukan. Simtom-simtom konversi biasa biasanya terjadi pada sistem otot kerangka atau pada sistem-sistem panca indra. Sering kali simtom simtom konversi yag disebutkan adalah kelumpuhan, serangan serangan mendadak ,kebutuaan, ketulian, masalah-masalah penglihatan, anestesia atau prestesia.
Munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misalnya buta, lumpuh, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada. Pada gangguan mi faktor psikologis berkaitan erat dengan awal dan keparahan gangguan. Menurut Davison & Neale (2001), pasien mungkin mengalami anesthesia, yaitu kelumpuhan-sebagian atau seluruhnya-pada tangan atau kaki, gangguan koordinasi dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada sesuatu yang merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal), serta kehilangan atau gangguan sensasi. Pasien juga mungkin mengalami gangguan penglihatan, misalnya tunnel vision (lapangan pandangan menjadi terbatas atau menyempit), aphonia (kehilangan suara), anosmia (kehilangan atau hendaya dalam kemampuan penciuman), dll
Dalam sejarah orang-orang yang mengalami gangguan konversi ditemukan frustrasi yang cukup berat terhadap kebutuhan-kebutuhan, terutama kebutuhan akan status. Pribadi yang mengalami gangguan konversi pada umumnya membutuhkan status dan keinginannya dalam hal ini begitu kuat meskipun jarang sekali terpenuhi. Akibatnya, ia terus-menerus mengalami frustrasi. Tegangan yang timbul sebagai akibat dari frustrasi dan konflik memaksa individu tersebut melarikan diri.
Pada masa lampau, konversi ini dikenal dengan istiiah hysteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stres dalam kehidupan. Prevaiensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk, dengan penderita perempuan 2 kali iebih banyak dibandingkan laki-laki (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa). Pada gangguan mi pasien mungkin menampilkan apa yang disebut Ia belle indifference, yaitu sikap tidak peduli atau tidak menunjukkan perhatian terhadap penyakitnya. Namun perilaku mi juga tidak seiaiu muncul pada semua penderita konversi.
Davison & Neale (2001) mengemukakan beberapa pandangan mengenai etiologi gangguan konversi. Menurut pandangan psikoanalisa yang dikemukakan oieh Freud dan Breuler, gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan, dan ingatan tentang peristiwa dihilangkan dan kesadaran. Pada tulisannya kem4djan, Freud mengemukakan hipotesis bahwa ganguan konversi terjadi pada awal kehidupan perempuan, yang berakar dan electra complex yang tidak terselesaikan.


Ada tiga katagori simtom yang di kutib dalam buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A. Supratiknya, yakni

  1.     Simtom sensorik, misalnya berupa hilangnya kepekaan terhadap berbagai rangsang yang berasal dari luar maupun dalam tubuh (anestesia); hilangnya kepekaan terhadap rasa sakit (analgesia); rabun ayam dan sebagainya.
  2.      Simtom motorik, misalnya berupa paralisis atau kelumpuhan, biasanya hanya pada salah satu tangan atau kaki dan lumpuhnyapun bersifat selektif dalam arti lumpuh untuk melakukan kegiatan tertentu tetapi sehat untuk kegiatan lain (contohnya adalah gangguan pada tangan yang disebut “writer’s cramp” atau kejang sang penulis, yaitu tidak dapat menggunakan tangan untuk menulis tetapi dapat untuk bermain kartu).
  3.      Simtom viskeral (rongga dada dan perut), misalnya berupa keluhan pusing, sesak napas, ujung tangan dan kaki dingin, dll.

Contoh kasus:
Baby, 25 tahun, dirawat di bagian psikiatri sebuah rumah sakit atas rujukan dan seorang neurolog. Ia mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya, narnun hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ada gangguan pada Baby. Menurut orang tuanya, kelumpuhan mi dialami Baby sekitar 2 minggu sebelumnya. Namun menurut ibunya, sejak sekitar 1 tahun terakhir anaknya memang sering sakit. Yaitu sejak meninggalnya kakaknya yangpaling dekat dengannya (hanya kepada kakak inilah Baby terbuka untuk menceritakan segala masalahnya), dan Baby diputuskan oleh pacarnya seminggu kemudian. Beberapa minggu setelah kejadian, Baby sempat 2 kali pingsan di gereja. Sejak saat itu ia sering mengeluh sakit badan, yang letaknya berganti-ganti. Baby bahkan sempat dirawat selama 2 minggu di rumah sakit. Saat dirawat yang pertama, kaki kirinya lemas dan tidak dapat digerakkan, sehingga harus dipapah saat berjalan. Satu minggu kemudian kedua-duanya lemas; lutut seperti tertekuk dan telapak kaki lemas. Keluhan mi sempat hilang, namun kemudian muncul lagi beberapa han sebelum dinawat. Babyjuga sempat mengeluh kepalanya condong ke kanan, dan tidak dapat digenakkan kem ba/i sepenti semula. Selama menja/ani penawatan di numah sakit, Baby memang tampak tidak mampu untuk menggenakkan tubuhnya. Sekalipun dipaksa, kakmnya tidak dapat digenakkan untuk benjalan. Bahkan untuk duduk ia hanus dibantu. Jika tidak, ia akan jatuh tenkulai lagi di tempat tidun. (sumben: kasuspnibadi)

4. Gangguan Dismorfik
Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau keiuhan yang beriebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa). Menurut Davison & Neale (2001), perempuan lebih cenderung untuk memfokuskan pada bagian kulit, dada, paha, dan kaki; sedangkan pria lebih terfokus pada tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh. Beberapa pasien cenderung menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati kekurangan mereka di cermin. Bahkan agar tidak mengingatnya, terkadang mereka menyembunyikan cermin atau menggunakan kamuflase, misalnya dengan menggunakan pakaian yang sangat longgar. Sebagaimana gangguan nyeri, pada gangguan mi pun faktor subyektivitas berperan penting. Gangguan mi lebih banyak berpengaruh pada perempuan dibanding lakilaki, dan onset biasanya muncul sekitar usia 15-20 tahun (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994).
Penyebab gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model psikodinamik, gangguan mi merefleksikan pemindahan konflik seksual atau emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi (Kaplan, Sadock, & Grebb, I 994).

Contoh kasus
Yuni, 33 tahun, seorang perempuan dengan wajah cukup menarik; mata bulat, hidung niancung, kulit putih bersih, dan rambut hitam sebahu, datang ke psikiater atas rujukan dan seorang dokter bdah plastik. Menurut sang dokter, menemui psikiater adalah syarat sebelum pasien dapat menjalani bedah plastik. Yuni mengatakan ia ingin menjalani bedah plastik karena hidungnya dirasakan terlalu pesek. Ia meriisa terganggu dengan kondisi hidungnyayang membuatny” kurangpercaya din di depan onang lain. Menunutnya sebelumnya ia sudah pennah melakukan beberapa usha untuk membuat hidungnya mancung - antana lain 2 kali suntik si/ikon di pusat kecantikan dan mendatangi seorang ahli pengo batan a/tenbatzf yang tenkenal dapat “mempermak” wajah seseonang - namun hingga kini hasi/nya kunang memuaskan. Akhinnya Yuni memutuskan untuk menjalani operasi p/astik, sehingglt dapat memperbaiki tu/ang hidu ngnya agar menjadi letih mancung. (sum ben: kasus pribadi).

Penanganan untuk penderita gangguan somatoform
Pandangan psikoanalisa menganggap pentingnya terapi untuk mengeluarkan hal-hal yang direpres dan ditransformasikan atau dikonversikan pada gejala ketubuhan. Katarsis yang terjadi saat pasien menghadapi apa yang direpresnya dianggap dapat membantu. Sedangkan ahli kognitif dan behavioral meyaki bahwa tingginya tingkat kecemasan yang berhubungan dengan gangguan somatisasi, sangat berkaitan dengan situasi tertentu. Larenanya teknik seperti exposures dapat digunakan (Davision & Neale 2001 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa)


DAFTAR PUSTAKA

Wiramihardja Sutardjo, Dr. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal, PT.Refika Aditama. Bandung
Senium Yustinus. 2006. kesehatan Mental, Percetakan Kanius. Yogyakarta
Davison & Neale dari Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia. Jakarta
Kendall & Hammen, 1998 dari Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia. Jakarta
 Barlow & Durand, 1995 Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia. Jakarta
Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dari Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia. Jakarta
Supratiknya, Dr. A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Toggle Footer