Dikutip dari buku kesehatan Mental, Senium
Yustinus 2006
Gangguan Somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam bentuk gangguan fisik yang melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety. Individu mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan.
Gangguan Somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam bentuk gangguan fisik yang melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety. Individu mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan.
Gangguan somatoform merupakan kelompok
gangguan yang meliputi symptom fisik (misalnya nyeri, mual, dan pening) dimana
tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai symptom dan keluhan
somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan stress emosional dan gangguan
dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan.
Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis memegang
peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya
gangguan dialami (oleh Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi
Abnormal Klinis Dewasa 2007)
Pada bagian ini akan dibahas tentang berbagai
gangguan somatoform, antara lain gangguan somatisasi., hipokondriasis, gangguan
konversi, dan gangguan dismorfik.
1. Gangguan Somatisasi
Gangguan
somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala
somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil
pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Diagnosis gangguan somatisasi digunakan
untuk individu-individu yang banyak menagalami keluhan-keluhan somatic,
berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena suatu penyebab
fisik yang actual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan
bahwa penyebab dari keluhan-keluhan mereka adalah factor psikologis dan mereka
tetap mencari pengobatan.
Gangguan
ini sifatnya kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30
tahun), dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam
kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang
berlebihan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal
Klinis Dewasa 2007).
Adapun
menurut DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi (APA, 1994):
- Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda (misalnya kepala, pundak, lutut, kaki).
- Dua simtom gastrointestinal (misalnya diare, mual)
- Satu simtom seksual yang berbeda dan rasa sakit/ nyeri (misalnya ketidakmampuan ereksi)
- Satu simtom pseudoneurologis seperti pada gangguan konversi, Menurut Davison & Neale (2001) dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007, gangguan ini diduga terjadi karena pasien terlalu sensitif dengan sensasi fisik, terlalu berlebihan dalam memperhatikan sensasi tersebut, atau menginterpretasikannya secara berlebihan. Pandangan behavioral menganggap bahwa gangguan ini adalah manifestasi kecemasan yang tidak realistis pada sistem ketubuhan.
2. Hipokondriasis
Hipokondriasis
merupakan kondisi kecemasan yang kronis dimana pendrita selalu merasa ketakutan
yang patologik terhadap kesehatannya sendiri. Penderita merasa yakin sekali
bahwa dirinya mengidap penyakit yang parah (serius). Hipokondriasis adalah
hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom
atau sensasi, sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka
memiliki gangguan yang parah bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang
diteniukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius dan belum
dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan menunjukkan kebalikannya (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa 2007).
Dikutib
dari buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A. Supratiknya
. Penyebab
hipokondriasis dapat bermacam-macam, antara lain:
- Perhatian yang berlebihan pada fungsi-fungsi tubuh di masa kecil, entah karena meniru orang tua atau karena pernah sakit keras sehingga menjadikan yang bersangkutan pusat perhatian di keluarganya. Dengan kata lain, hipokondriasis merupakan gangguan khas orang-orang yang haus perhatian dari orang lain.
- Frustasi tertentu sebagai faktor pencetus. Misalnya, seorang gadis yang tiba-tiba mengeluh menderita macam-macam penyakit sesudah putus hubungan dengan tunangannya.
- Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan sosial. Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu menderita sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam penyakit setiap kali menghadapi tantangan hidup.
Contoh
kasus:
Ny. Wati, 40 tahun, datang ke
psikiaten atas nujukan dan seorang dokten ahli penyakit dalam. Menunut
keterangan doktenyang merujuk, Ny. Wati datang untuk menjalani pemeniksaan
kanena ada sesuatu yang mengganjal di tenggonokannya. Namun basil pemeni ksaan
menunjukkan tidak ditemukan kelainan apapun padanya. Ketika hal mi
dibenitahukan pada Ny. Wati, ia meminta dokter membeni surat pengantan agan
dapat menjalani pemeniksaan lengkap (general check-up). Bendasankan ketenangan
Ny. Wati sendini, ia mengaku sudah menasakan adanya sesuatu yang mengganjal di
tenggonokannya sejak 3 bulan tenakhin. Ny. Wati menduga ia tenkena kanken atau
penyakit lainnya. Ia sempat ke dokten umum, bebenapa ahli TH7 dan 2 onang ahli
penyakit dalam—tenmasuk dokten yang menujuk— untuk mengetahui penyakitnya.
Namun tidak ada seorangpun dokten yang mengetahui penpakitnya, dan mi sangat
mengecewakan bagi Ny. Wati. Sebab ia menasa hidupnya tidak tenang, dan tidak
dapat melakukan aktzvitas dengan baik, kanena memikirkan ten tang penyakitnya
mi, dan kemungkinan bahwa ia akan tenkena kanken seperti kakak kandungnya.
(sumben: kasus pnmbadi)
3. Konversi
Dalam
kasus-kasus gangguan konversi, individu menderita satu atau lebih simtom fisik
yang berat dan yang sangat melumpuhkan, tetapi dasar organik dari gangguan ini
tidak ditemukan. Simtom-simtom konversi biasa biasanya terjadi pada sistem otot
kerangka atau pada sistem-sistem panca indra. Sering kali simtom simtom
konversi yag disebutkan adalah kelumpuhan, serangan serangan mendadak
,kebutuaan, ketulian, masalah-masalah penglihatan, anestesia atau prestesia.
Munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misalnya buta, lumpuh, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada. Pada gangguan mi faktor psikologis berkaitan erat dengan awal dan keparahan gangguan. Menurut Davison & Neale (2001), pasien mungkin mengalami anesthesia, yaitu kelumpuhan-sebagian atau seluruhnya-pada tangan atau kaki, gangguan koordinasi dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada sesuatu yang merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal), serta kehilangan atau gangguan sensasi. Pasien juga mungkin mengalami gangguan penglihatan, misalnya tunnel vision (lapangan pandangan menjadi terbatas atau menyempit), aphonia (kehilangan suara), anosmia (kehilangan atau hendaya dalam kemampuan penciuman), dll
Dalam sejarah orang-orang yang mengalami gangguan konversi ditemukan frustrasi yang cukup berat terhadap kebutuhan-kebutuhan, terutama kebutuhan akan status. Pribadi yang mengalami gangguan konversi pada umumnya membutuhkan status dan keinginannya dalam hal ini begitu kuat meskipun jarang sekali terpenuhi. Akibatnya, ia terus-menerus mengalami frustrasi. Tegangan yang timbul sebagai akibat dari frustrasi dan konflik memaksa individu tersebut melarikan diri.
Pada masa lampau, konversi ini dikenal dengan istiiah hysteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stres dalam kehidupan. Prevaiensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk, dengan penderita perempuan 2 kali iebih banyak dibandingkan laki-laki (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa). Pada gangguan mi pasien mungkin menampilkan apa yang disebut Ia belle indifference, yaitu sikap tidak peduli atau tidak menunjukkan perhatian terhadap penyakitnya. Namun perilaku mi juga tidak seiaiu muncul pada semua penderita konversi.
Davison & Neale (2001) mengemukakan beberapa pandangan mengenai etiologi gangguan konversi. Menurut pandangan psikoanalisa yang dikemukakan oieh Freud dan Breuler, gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan, dan ingatan tentang peristiwa dihilangkan dan kesadaran. Pada tulisannya kem4djan, Freud mengemukakan hipotesis bahwa ganguan konversi terjadi pada awal kehidupan perempuan, yang berakar dan electra complex yang tidak terselesaikan.
Ada tiga katagori simtom yang di kutib dalam buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A. Supratiknya, yakni
Munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misalnya buta, lumpuh, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada. Pada gangguan mi faktor psikologis berkaitan erat dengan awal dan keparahan gangguan. Menurut Davison & Neale (2001), pasien mungkin mengalami anesthesia, yaitu kelumpuhan-sebagian atau seluruhnya-pada tangan atau kaki, gangguan koordinasi dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada sesuatu yang merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal), serta kehilangan atau gangguan sensasi. Pasien juga mungkin mengalami gangguan penglihatan, misalnya tunnel vision (lapangan pandangan menjadi terbatas atau menyempit), aphonia (kehilangan suara), anosmia (kehilangan atau hendaya dalam kemampuan penciuman), dll
Dalam sejarah orang-orang yang mengalami gangguan konversi ditemukan frustrasi yang cukup berat terhadap kebutuhan-kebutuhan, terutama kebutuhan akan status. Pribadi yang mengalami gangguan konversi pada umumnya membutuhkan status dan keinginannya dalam hal ini begitu kuat meskipun jarang sekali terpenuhi. Akibatnya, ia terus-menerus mengalami frustrasi. Tegangan yang timbul sebagai akibat dari frustrasi dan konflik memaksa individu tersebut melarikan diri.
Pada masa lampau, konversi ini dikenal dengan istiiah hysteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stres dalam kehidupan. Prevaiensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk, dengan penderita perempuan 2 kali iebih banyak dibandingkan laki-laki (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa). Pada gangguan mi pasien mungkin menampilkan apa yang disebut Ia belle indifference, yaitu sikap tidak peduli atau tidak menunjukkan perhatian terhadap penyakitnya. Namun perilaku mi juga tidak seiaiu muncul pada semua penderita konversi.
Davison & Neale (2001) mengemukakan beberapa pandangan mengenai etiologi gangguan konversi. Menurut pandangan psikoanalisa yang dikemukakan oieh Freud dan Breuler, gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan, dan ingatan tentang peristiwa dihilangkan dan kesadaran. Pada tulisannya kem4djan, Freud mengemukakan hipotesis bahwa ganguan konversi terjadi pada awal kehidupan perempuan, yang berakar dan electra complex yang tidak terselesaikan.
Ada tiga katagori simtom yang di kutib dalam buku Mengenal Perilaku Abnormal, Dr.A. Supratiknya, yakni
- Simtom sensorik, misalnya berupa hilangnya kepekaan terhadap berbagai rangsang yang berasal dari luar maupun dalam tubuh (anestesia); hilangnya kepekaan terhadap rasa sakit (analgesia); rabun ayam dan sebagainya.
- Simtom motorik, misalnya berupa paralisis atau kelumpuhan, biasanya hanya pada salah satu tangan atau kaki dan lumpuhnyapun bersifat selektif dalam arti lumpuh untuk melakukan kegiatan tertentu tetapi sehat untuk kegiatan lain (contohnya adalah gangguan pada tangan yang disebut “writer’s cramp” atau kejang sang penulis, yaitu tidak dapat menggunakan tangan untuk menulis tetapi dapat untuk bermain kartu).
- Simtom viskeral (rongga dada dan perut), misalnya berupa keluhan pusing, sesak napas, ujung tangan dan kaki dingin, dll.
Contoh kasus:
Baby, 25 tahun, dirawat di bagian psikiatri sebuah
rumah sakit atas rujukan dan seorang neurolog. Ia mengalami kelumpuhan pada
kedua kakinya, narnun hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ada gangguan pada
Baby. Menurut orang tuanya, kelumpuhan mi dialami Baby sekitar 2 minggu
sebelumnya. Namun menurut
ibunya, sejak sekitar 1 tahun terakhir anaknya memang sering sakit. Yaitu sejak
meninggalnya kakaknya yangpaling dekat dengannya (hanya kepada kakak inilah
Baby terbuka untuk menceritakan segala masalahnya), dan Baby diputuskan oleh
pacarnya seminggu kemudian. Beberapa minggu setelah kejadian, Baby sempat 2 kali
pingsan di gereja. Sejak saat itu ia sering mengeluh sakit badan, yang letaknya
berganti-ganti. Baby bahkan sempat dirawat selama 2 minggu di rumah sakit. Saat
dirawat yang pertama, kaki kirinya lemas dan tidak dapat digerakkan, sehingga
harus dipapah saat berjalan. Satu minggu kemudian kedua-duanya lemas; lutut seperti
tertekuk dan telapak kaki lemas. Keluhan mi sempat hilang, namun kemudian
muncul lagi beberapa han sebelum dinawat. Babyjuga sempat mengeluh kepalanya
condong ke kanan, dan tidak dapat digenakkan kem ba/i sepenti semula. Selama
menja/ani penawatan di numah sakit, Baby memang tampak tidak mampu untuk
menggenakkan tubuhnya. Sekalipun dipaksa, kakmnya tidak dapat digenakkan untuk
benjalan. Bahkan untuk duduk ia hanus dibantu. Jika tidak, ia akan jatuh
tenkulai lagi di tempat tidun. (sumben: kasuspnibadi)
4. Gangguan Dismorfik
Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak
nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau
keiuhan yang beriebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis Dewasa).
Menurut Davison & Neale (2001), perempuan lebih cenderung untuk memfokuskan
pada bagian kulit, dada, paha, dan kaki; sedangkan pria lebih terfokus pada
tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh. Beberapa pasien cenderung
menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati kekurangan mereka di cermin.
Bahkan agar tidak mengingatnya, terkadang mereka menyembunyikan cermin atau
menggunakan kamuflase, misalnya dengan menggunakan pakaian yang sangat longgar.
Sebagaimana gangguan nyeri, pada gangguan mi pun faktor subyektivitas berperan
penting. Gangguan mi lebih banyak berpengaruh pada perempuan dibanding
lakilaki, dan onset biasanya muncul sekitar usia 15-20 tahun (Kaplan, Sadock,
& Grebb, 1994).
Penyebab gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model psikodinamik, gangguan mi merefleksikan pemindahan konflik seksual atau emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi (Kaplan, Sadock, & Grebb, I 994).
Penyebab gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model psikodinamik, gangguan mi merefleksikan pemindahan konflik seksual atau emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi (Kaplan, Sadock, & Grebb, I 994).
Contoh kasus
Yuni, 33 tahun, seorang perempuan dengan wajah
cukup menarik; mata bulat, hidung niancung, kulit putih bersih, dan rambut
hitam sebahu, datang ke psikiater atas rujukan dan seorang dokter bdah plastik.
Menurut sang dokter, menemui psikiater adalah syarat sebelum pasien dapat
menjalani bedah plastik. Yuni mengatakan ia ingin menjalani bedah plastik
karena hidungnya dirasakan terlalu pesek. Ia meriisa terganggu dengan kondisi
hidungnyayang membuatny” kurangpercaya din di depan onang lain. Menunutnya
sebelumnya ia sudah pennah melakukan beberapa usha untuk membuat hidungnya
mancung - antana lain 2 kali suntik si/ikon di pusat kecantikan dan mendatangi
seorang ahli pengo batan a/tenbatzf yang tenkenal dapat “mempermak” wajah
seseonang - namun hingga kini hasi/nya kunang memuaskan. Akhinnya Yuni
memutuskan untuk menjalani operasi p/astik, sehingglt dapat memperbaiki tu/ang
hidu ngnya agar menjadi letih mancung. (sum ben: kasus pribadi).
Penanganan untuk penderita gangguan somatoform
Pandangan psikoanalisa
menganggap pentingnya terapi untuk mengeluarkan hal-hal yang direpres dan
ditransformasikan atau dikonversikan pada gejala ketubuhan. Katarsis yang
terjadi saat pasien menghadapi apa yang direpresnya dianggap dapat membantu. Sedangkan
ahli kognitif dan behavioral meyaki bahwa tingginya tingkat kecemasan yang
berhubungan dengan gangguan somatisasi, sangat berkaitan dengan situasi
tertentu. Larenanya teknik seperti exposures
dapat digunakan (Davision & Neale 2001 dalam buku Psikologi Abnormal Klinis
Dewasa)
DAFTAR PUSTAKA
Wiramihardja Sutardjo, Dr.
2005. Pengantar Psikologi Abnormal, PT.Refika Aditama. Bandung
Senium Yustinus. 2006.
kesehatan Mental, Percetakan Kanius. Yogyakarta
Davison & Neale dari
Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa,
Universitas Indonesia. Jakarta
Kendall & Hammen, 1998
dari Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa,
Universitas Indonesia. Jakarta
Barlow & Durand, 1995 Fausiah Fitri,
Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia.
Jakarta
Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994
dari Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa,
Universitas Indonesia. Jakarta
Supratiknya, Dr. A. 1995.
Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar