Jumat, 09 November 2012

BUDAYA KERJA (dalam Keindonesiaan)

Falsafah negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia telah jelas dimuat dalam Pembukaan UUD Dasar 1945 yang kita namakan Pancasila. Nilai – nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan cermin nilai – nilai luhur yang hidup di masyarakat. 

Dalam menghadapi tantangan apa pun, hakikat nilai – nilai luhur tersebut tidak bisa berubah sebab yang berubah adalah nilai – nilai instrumental yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan. Untuk itu, kualitas SDM di tuntut responsif atau peka, penuh prakarsa, bersikap proaktif, terampil, mandiri, disiplin, integritas tinggi, dan lain – lain. Implementasi nilai – nilai luhur Pancasila dalam Organisasi menuntut perubahan secara komunikasi, dari yang biasa dilakukan secara vertikal dari atas ke bawah, menjadi hubungan lebih horizontal dan partisipatif. Demikian juga, gaya kepemimpinan menjadi lebih banyak mengajak daripada memerintah, memberikan keteladanan, mendorong, dan memberikan kepercayaan lebih besar kepada bawahan. Sebagai konsekuensi gaya partisipasi tersebut, pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Gaya manajemen seperti ini akan mendorong bawahan menjadi lebih merasa ikut memiliki, ikut pengembangan SDM agar mampu memberikan sumbangan kerja yang terbaik atau optimal bagi manajemen.

Masuknya nilai – nilai budaya dalam manajemen diharapkan akan menyebabkan peningkatan kualitas SDM, kualitas cara kerja, dan kualitas produknya. Mengenai kualitas produk dapat diukur dari beberapa aspek berikut.

  1. Kesesuaian dengan mutu yang diminta oleh pelanggan, apakah mereka menyatakan puas atau tidak. Kalau mereka tidak puas berarti kualitas produk tersebut belum mencapai standarnya, dan harus disempurnakan. 
  2. Setiap orang dalam organisasi berperan sebagai pemasok, pelanggan, baik yang berorientasi internal maupun eksternal. Setiap pelanggan mempunyai dimensi persyaratan mutu yang berbeda – beda, bergantung pada keperluannya. Oleh karena itu untuk menciptakan produk (barang dan jasa) diperlukan kerja sama internal maupun eksternal agar produk tersebut dapat memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh pelanggan. Untuk kerja sama yang intensif perlu diciptakan jaringan kerja yang menerobos kekakuan birokrasi, seperti jaringan kerja horizontal, vertikal, dan diagonal. 
  3. Orientasi pada pencegahan lebih baik daripada memperbaiki kesalah karena biaya perbaikan akan menjadi lebih mahal dari memengaruhi daya saing. Falsafah yang terkenal untuk kegiatan itu, antara lain “Do it right at the first time “Zero defect” “Zero biscrepencies.” 
  4. Untuk mencegah perberontakan agar mutu menjadi lebih baik perlu diperhatikan hal – hal berikut: pembiayaan, yang meliputi penilaian (inspeksi, pengujian, dan tugas lain); pencegahan (latihan, mencari penyebab, koreksi, pengembangan); kegagalan (kerusakan, perbaikan, kerja ulang, kurang waktu); kegagalan eksternal (penghentian jaminan, kerusakan, kehilangan pelanggan, keluhan, dan perbaikan). 
  5. Mutu terletak pada sumbernya, yang berarti setiap SDM adalah inspektur kualitas bagi pekerjaannya. Untuk mencapai tingkat optimal cara kerja seperti itu diperlukan kerja sama melalui kelompok tertentu. Mereka diberi pelatihan dan peralatan teknik untuk pemecahan masalah sehingga mereka mampu mencegah kesalahan – kesalahan yang mungkin terjadi. 
  6. Mutu dapat diraih melalui cara perbaikan yang berkesinambungan. Hal ini merupakan falsafah manajemen yang mendekatkan tantangan atau tuntutan dengan cara kerja melalui proses yang berkesinambungan dan mencapai kemenangan kecil. Dalam hal ini, ide – ide dari kelompok akan banyak berperan dalam upaya memperbaiki terus menerus.

Sumber: PERILAKU ORGANISASI. Khaerul Umam. Pengantar : Prof Dr. Hendi Suhendi, M. Si. Dan Drs. Sahya Anggara, M. Si.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar