Minggu, 02 Desember 2012

TEORI AWAL TENTANG MOTIVASI


Tahun 1950-an adalah kurun waktu yang gemilang dalam pengembangan konsep-konsep motivasi. Tiga teori spesifik yang dirumuskan selama periode itu, meskipun dikritik habis-habisan dan saat ini dipertanyakan kesalihannya (validitasnya), agaknya masih merupakan penjelasan yang paling soal motivasi karyawan. Inilah teori hirarki kebutuhan , teori X dan Y, dengan teori dan faktor.

Teori hirarki kebutuhan
Mungkin bisa dikatakan bahwa teori motivasi yang paling terkenal adalah hirarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Hipotesisnya mengatakan bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lim jenjang kebutuhan, yaitu:
  1. Psikologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani. 
  2. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadapa kerugian fisik dan emisional. 
  3. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan. 
  4. Penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar, seperti status pengakuan dan perhatian. 
  5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi seorang/sesuatu sesuai ambisinya; yang mencankup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri.

Ketika masing-masing kebutuhan ini terpenuhi secara substansial, kebutuhan berikutnya akan menjadi dominan. Individu bergerak naik mengikuti anak-anak tangga hierarki. Dari titik pandang motivasi, teori tersebut mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang bisa dipenuhi sepenuhnya, kebutuhan tertentu yang telah dipuaskan secara substansial tidak lagi menjadi pendorong motivasi. Jadi, jika ingin memotivasi seseorang, menurut maslow, anda harus memahami sedang berada di anak tangga manakah orang tersebut dan anda harus focus pada pemenuhan kebutuhan di tingkat di atasnya. 

Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kebutuhan psikologis dan kebutuhan akan keamanan di gambarkan sebagai kebutuhan tingkat rendah, sementara kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi diri ditempatkan ke dalam tingkat tinggi. Perbedaan antara kedua tingkat tinggi dipenuhi secara internal (dalam diri orang itu), sedangkan kebutuhan tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal (dengan upah, kontrak sebagai buruh, dan masa kerja, misalnya). 

Teori-teori lama, terutama teori yang logis secara instuitif, tampaknya tetap bertahan. Walaupun teori hierarki kebutuhan dan terminologinya tetap popular di kalangan manajer aktif, prediksi-prediksi teori itu kurang mendapat dukungan empiris. Lebih spesifik, hanya ada sedikit bukti bahwa struktur kebutuhan itu terorganisasi sepanjang dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh maslow bahwa kebutuhan yang tak terpuaskan akan mengaktifkan dorongan ke tingkat kebutuhan yang baru.

Teori X dan teori Y
Douglas McGregor, mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia. Pada dasarnya, yang negative ditandai sebagai teori X, dan yang positif ditandai dengan teori Y. Setelah mangkaji cara para manajer menangani karyawan, McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada kelompok asumsi tertentu, dan menurut asumsi-asumsi ini, manajer cenderung menularkan cara berperilakunya kepada para bawahan.

Menurut teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah : 

  1. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja, apabila dimungkinkan, akan mencoba menghindarinya. 
  2. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran; 
  3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bila mungkin; 
  4. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah;

Kontras dengan pandangan negative mengenai kodrat manusia ini, McGregor mencatat empat asumsi positif, yang disebutnya teori Y, yaitu: 

  1. Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain. 
  2. Orang-orang akan melakukan pengaeahan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada sasaran. 
  3. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan tanggung jawab; 
  4. Kemapuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas kepada semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berbeda dalam posisi manajemen.

Teori dua faktor 
Teori dua faktor (kadang-kadang disebut juga teori motivasi-higiene) dikemukakan oleh psikolog, Frederick Herzberg (robbins, 2006). Dalam keyakinannya bahwa hubunagan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu. 

Dari respons yang dikategorikan, Herzberg menyimpulkan bahwa jawaban yang diberikan orang-orang ketika mereka merasa senang mengenai pekerjaannya sangat berbeda dari jawaban yang diberikan ketika mereka merasa tidak senang. Karakteristik-karekteristik tertentu cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja, dan yang lain terkait dengan ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsic, seperti kemajuan, prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab, tampaknya terkait dengan kepuasan kerja. Mereka cenderung mengaitkan faktor-faktor ini Kediri mereka sendiri. Di pihak lain, apabila tidak puas, mereka cenderung mengaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik, seperti pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, dan kondisi kerja. 

Menurut Herzberg, faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu, manajer yang berusaha menghilngkan faktor-faktor yang menciptakan ketidakpuasan kerja dapat membawa ketentraman, tetapi belum tentu mendatangkan motivasi.


Teori dua faktor tidaklah tanpa cacat (robbins. 2006). Kritik terhadap teori itu, antara lain adalah sebagai berikut. 

  1. Prosedur yang digunakan Herzberg terbatasi oleh metologinya. Bila semuanya berlangsung baik, orang cenderung menganggap itu berkat diri mereka. Sebaliknya, mereka menyalahkan lingkungan luar jika terjadi kegagalan. 
  2. Keandalan metodologi Herzberg dipertanyakan. Karena penilai harus melakukan penafsiran, mungkin mereka dapat mencemari penemuan denagn menafsirkan respons tersebut dengan cara tertentu, namun di sisi lain mempermalukan respons lain yang serupa dengan berbeda. 
  3. Tidak digunakan ukuran total kepuasan apapun. Dengan kata lain, seseorang dapat tidak menyukai bagian dari pekerjaannya, masih berpikir bahwa pekerjaan itu dapat diterimanya. 
  4. Teori itu tidak konsisten dengan riset sebelumnya. Teori dua faktor mengabaikan variabel-variabel situasi. 
  5. Herzberg mengasumsikan hubungan antara kepuasan dan produktivitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar