Menurut Lan (1998) pencarian jati diri orang
Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan – menjadi Indonesia, tetap
Cina atau mengadopsi identitas lain. Namun demikian nampaknya pilihan-pilihan
tidak selalu menempatkan orang Cina pada keadaan yang mudah. Pilihan dengan
identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan
asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas
Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi
inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan
orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan
tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak
sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan
sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan
minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan
yang dialaminya, juga akibat perlakuan
diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini (Susetyo, 1999)
Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal,
sebagaimana asimilasi Melting Pot yang pernah diberlakukan
di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya
suatu golongan masyarakat begitu saja.
Memilih mempertahankan identitas sebagai
orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan
berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan
birokrasi pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya
stereotip, prasangka dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk
etnis Cina di mata etnis Indonesia lainnya. Sementara di kalangan aparat,
birokrasi pemerintahan, sampai sekarang mereka nampaknya masih menggunakan
paradigma lama dengan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina misalnya
dalam hal status kependudukan ataupun status kewarganegaraan.
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri
juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri
dalam format yang berubah. Menurut Lan (1998) pergeseran tersebut dari
ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi
ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini
Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan
upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi
pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang
bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC
memburuk.
Keberadaan etnis Cina
sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi
minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan
diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran
pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang
frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan
anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu
rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang
kuat.
Jika dilihat dari format negara Indonesia
yang indigeneus
nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah
menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata,
1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina
adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda,
Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang
Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan
G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di
era Orde Baru orang Cina harus melakukan asimilasi total dengan
meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo,
2002). Namun demikian konsep tentang identitas Indonesia sendiri menurut Lan
(1999) juga belum jelas. Apakah sosok Rudy Hartono, Kwik Kian Gie dan orang
Cina lainnya yang telah mengharumkan nama bangsa sebagai model bagi identitas
Indonesia tersebut ?
Karena berbagai
tekanan dan ketidakpastian tersebut, maka orang Cina berada di persimpangan
jalan. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan penelitian dari Lan
(1998) yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi
identifikasi diri di kalangan orang Cina di Indonesia. Setidaknya ada 4
orientasi yang ditemukan,
Kelompok pertama, adalah
mereka yang percaya bahwa mereka adalah etnis Cina dan akan selalu menjadi
etnis Cina. Oleh karena itu dalam mengidentifikasikan diri, mereka selalu
kembali ke asal usul dan warisan budaya etnis Cina.
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasa telah berhasil
berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang merasa
asal usul etnis dan budaya mereka merupakan kutukan yang menyulitkan posisi
mereka untuk menjadi bagian yang utuh dari masyarakat dimana mereka tinggal.
Kelompok ketiga, adalah
mereka yang berkeyakinan bahwa mereka telah melampaui batas etnis, negara dan
bangsa serta telah menjadi seorang yang globalis dan internasionalis.
Kelompok keempat, adalah
mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan
mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara
budaya maupun politis.
Demikian pula
dari temuan dari Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi
politik orang Cina, ternyata terpilah-pilah menjadi lima kelompok cara pandang,
yaitu :
Kelompok pertama adalah
yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak
mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan Partai Tionghoa.
Kelompok kedua adalah
mereka yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan,
melainkan melalu platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan Partai
Bhineka Tunggal Ika
Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menyukai sebuah
forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group.
Kelompok keempat adalah
mereka yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggunan.
Misalnya dengan mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia.
Kelompok kelima adalah mereka yang bergabung dalam partai
politik yang terbuka seperti PDI Perjuangan, PAN dan lain sebagainya.
Dari paparan di atas kiranya dapat diperoleh
gambaran tentang bagaimana dinamika pencarian identitas etnis Cina di
Indonesia. Pada kenyataannya di tengah masyarakat etnis Cina telah berkembang
subkultur-subkultur baru yang merupakan respon terhadap realitas sosial yang
berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Cina yang plural.
Identitas
Etnis Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Identitas
individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap
interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada
upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk
interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan
identitas untuk memberinya sense of
belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam
Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap
interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri
individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu
kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting
yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya. Menurut Hogg dan Abram
(1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur
kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras,
klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di
dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan
martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam
masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan
antarindividu dan antarkelompok.
Pada dasarnya
setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut
menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain
dan persamaan sosial (social
equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam
keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota
suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu
upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih
baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika
yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang
mengidentifikasi pada kelompok kulit putih. Dalam pandangan teori identitas
sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang
sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam
setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang
dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya
(Taylor dan Moghaddam, 1994). Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan
orang / kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian
khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain (Hogg
dan Abram, 1988)
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang
positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk
baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial
(kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai
melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial. Mobilitas sosial adalah
perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih
tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu
cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada,
maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai
kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih
atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha
yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya
tidak terlalu jelek. (Hogg dan Abram, 1988; Sarwono, 1999)
Dinamika
Pencarian Identitas Etnis Cina Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Dinamika pencarian identitas etnis Cina sebenarnya terkait
perlakuan yang diterima dari pihak penguasa. Dalam Sarwono (1999), dan Susetyo
(2002) dikemukakan bahwa pada jaman pemerintahan kolonial Belanda, perbedaan
status etnis diberlakukan dengan tegas. Orang Eropa diberi status tertinggi dan
mempunyai hak dan fasilitas terbaik. Orang Cina yang waktu itu disebut orang
Timur Asing (vreemde
osterlingen) mempunyai status di
bawah orang Eropa dan golongan pribumi (inlander) diberi status yang
paling rendah (kecuali bangsawan yang diberi status seperti Eropa).
Dalam statusnya yang di tengah ini, orang Cina meningkatkan
citranya dengan melakukan mobilitas sosial, yaitu mengadopsi berbagai identitas
yang melekat pada orang Eropa ataupun Belanda. Banyak orang Cina yang
berpendidikan ala Eropa, cara mereka berpakaian juga ala Eropa, mereka juga
mengadopsi agama Kristen dan Katolik seperti orang Eropa disamping keyakinan
yang mereka bawa dari tanah leluhurnya, dan lain sebagainya. Amat jarang orang
Cina yang mengidentifikasi dengan identitas pribumi, karena status pribumi yang
lebih rendah. Interaksi dengan orang pribumi nampaknya lebih untuk kepentingan
dagang dan kepentingan lain yang bisa menguntungkan. Dalam hal
tertentu orang pribumi malah terangkat derajatnya, misalnya ketika ada
perempuan pribumi yang dinikahi orang Cina. Dengan demikian, yang menonjol pada
orang Cina di era kolonial Belanda adalah perpaduan antara identitas Cina
tradisionil dan identitas ala Eropa.
Namun demikian
situasinya nampak berbeda sama sekali ketika memasuki era kemerdekaan.
Persoalan yang mengedepan terutama adalah tentang kepastian status
kewarganegaraan. Dikemukakan oleh Coppel (1994) orang Cina pada masa itu
terjepit antara berbagai kepentingan baik yang berskala nasional maupun internasional.
Pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak bisa segera memberikan kepastian.
Bahkan undang-undang yang mengatur hal ini ditengarai akan membatasi jumlah
orang Cina yang bisa menjadi warganegara. Sementara pemerintah RRC pada waktu
itu masih memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi orang Cina di perantauan,
yaitu disamping menjadi warganegara di negara tempat merantau juga melekat
kewarganegaraan Cina. Sebagai reaksi terhadap keadaan tersebut maka sejumlah
tokoh Cina mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia)
yang inti perjuangannya ingin menempatkan etnis Cina sejajar dengan etnis/suku
lain dengan konsep integrasi. Sementara kelompok Cina yang lain menghendaki
asimilasi sebagai solusi. Namun demikian sejak terjadinya peristiwa
pemberontakan PKI 1965, keadaannya berbalik sama sekali. Konsep integrasi
secara politis telah dikategorikan sebagai bagian dari ideologi komunis
sosialis (Lan, 1998). Dengan demikian pilihan satu satunya yang diberi ruang
oleh penguasa adalah dengan asimilasi. Sebenarnya disinilah akar
permasalahannya mengapa pencarian identitas etnis Cina menjadi sedemikian
rumit.
Pasca peristiwa
1965 status etnis Cina sedang dalam kondisi terendah. Mereka dipojokkan oleh
penguasa maupun masyarakat bukan Cina. Pada saat itu berbagai kekerasan massa
anti Cina mulai marak. Mengacu pada teori identitas sosial, maka ketika suatu
kelompok citranya sedang terpuruk selalu ada upaya untuk bereaksi terhadap
keadaan ini dalam rangka meraih kembali citra / identitas sosial yang positif.
Adapun modus yang biasa terjadi adalah dengan mobilitas sosial dan perubahan
sosial.
Bentuk-bentuk
mobilitas sosial yang dilakukan nampaknya cukup bervariasi tergantung dari
persepsi masing-masing kelompok tentang bagaimana harus memperbaiki citra.
Salah satu reaksi yang muncul adalah dengan eksodus ke luar negeri seperti ke
Belanda, kembali ke RRC dan sebagainya. Sementara kelompok asimilasi nampaknya
mendapat angin, salah satu tokohnya Junus Jahja mendorong orang Cina untuk
memeluk agama Islam sebagai kunci pembauran total. Dalam penelitian yang
dilakukannya terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina di Semarang,
Susetyo (2002) menemukan bahwa ada kecenderungan subyek untuk mengadopsi
sifat-sifat positif dari etnis Jawa sebagai identitas sosialnya. Hal ini nampak
menjadi salah satu solusi dalam pencarian identitas ini. Pada akhirnya kita
akan menemukan identitas Cina yang Jawa, Cina yang Batak, Cina yang Padang,
Cina yang Sunda dan sebagainya. Namun demikian ketika mereka tidak dapat menemukan
hal-hal yang mendukung perbaikan citra dirinya sebagaimana hal di atas, banyak
juga yang akhirnya pindah keluar negeri menjadi kelompok yang beridentitas
kosmopolitas, internasional, lintas etnis maupun lintas negara. Dinamika
tersebut nampaknya dapat tergambarkan dari penelitian dari Lan (1998) tentang
orientasi identifikasi diri ataupun dari Tan (1998) tentang aspirasi politik di
atas.
Selain melalui
mobilitas sosial, nampaknya juga ada kecenderungan melakukan perubahan sosial,
yaitu dengan memperbaiki citra dari ke-Cina-an. Salah satunya adalah dengan
menggeser orientasi ke-Cina-an dari yang berorientasi tradisionil menjadi
ke-Cina-an yang berorientasi nasional. Barangkali kecenderungan ini lebih
banyak berkembang di kalangan generasi yang lebih muda, dimana mereka sudah
begitu menguasai lagi adat istiadat Cina tradisionil, tidak bisa berbicara
dalam bahasa mandarin, memiliki pendidikan yang modern. Dengan demikian
ke-Cina-an sekarang tampil dalam kemasan dan citra baru yang lebih bisa
diterima dan tidak lagi berasosiasi dengan masa lalu yang traumatis.
0 komentar:
Posting Komentar