Jumat, 24 Februari 2012

PERKEMBANGAN PERS PADA ZAMAN ORDE LAMA ATAU PERS TERPIMPIN (1956-1966)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pada pers terus berlangsung, yaitu pembrei delan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin po yang dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.

Upaya untuk membataasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi  ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menyatakan:...hak kebebasan individu disesuaikan dengan baik kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kapada Tuhan Yang Maha Esa”.

Pada awal 1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin terbit Harian Republik.

Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk: hal ini digambarkan oleh E.C Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementrian Penerbangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada hampir-hampir tidak lebih daru sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

Berdasarkan uraian di atas, tindakan – tidakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah bersamaan dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan – tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan – percetakan diambil alih oleh pemerintahan dan para wartawan diwajibkan untuk berjanji mendukung politik pemerintahan, sehingga sangat sedikit pemerintahan melakukan tindakan penekanan kepada pers.

Tindakan pembatasan terhadap kemerdekaan pers selama tahun 1959 sama arahnya dengan tahun-tahun sebelumnys. Dengan jumlah tindakan sebanyak 73 kali. Selama tahun 1960 terjadi tiga kali pencabutan izin terbit, sedangkan pada tahun 1961 mencapai 13 kali. Rincian tindakan penekanan atau tindakan antipers selama 14 tahun sejak Mei 1952 sampai dengan Desember 1965, menurut catatan Edward C. Smith mencapai 561 tindakan.

Pemerintah menekankan bahwa fungsi utama pers ialah menyokong tujuan revolusi dan semua surat kabar menjadi kabar juru bicara resmi pemerintah. “Hal ini diungkapkan Smith berdasarkan pandangan presiden Soekarno ketika berpidato di muka rapat umum HUT ke-19 PWI, yang dimuat oleh New York Times, antara lain: “....Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup”, katanya. “Pers yang bermusuhan terhadap revolusi harus disingkirkan”.
Sumber: Buku Pendidikan Kewarganegaraan. Budiyanto. Penerbit erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar