ada
beberapa sarjana antropologi lain yang mencoba mencapai pengertian
mengenai masalah integrasi kebuadayaan integrasi kebudayaan dan
jaringan berkaitan antara unsur-unsur dengan cara meneliti fungsi
unsur-unsur itu. Istilah “fungsi” itu dapat dipakai dalam bahasa
sehari-hari maupun dalam bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda.
Seorang sarjana antrpologi , M. E. Spiro, pernah mendapatkan bahwa
dalam karangan ilmiah ada tiga cara pemakaian kata “fungsi” itu
ialah
- menerangkan “fungsi” itu sebagai hubungan antara suatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain.)
- menerangkan kaitan antara satu hal dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh x tadi, juga berubah).
- Menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme).
“Fungsi”
dalam arti pertama selain dalam bahasa ilmiah, juga merupakan dalah
satu arti dalam bahasa sehari-hari, arti kedua dangat penting dalam
ilmu pasti, tetapi juga mempunyai arti dalam ilmu-ilmu sosial, antara
lain dalam ilmu antropologi, sedangkan dalam arti ketiga terkandung
kesadaran para sarjana antropologi akan integrasi kebudayaan itu.
Kesadaran
akan metode untuk memandang suatu yang hidup sebagai sistem yang
terintegrasi, timbul setelah tahun 1925 ketika buku etnografitulisan
B. Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand, yang terletak di
sebelah tenggara Papua Nugini, menjadi terkenal. Buku The
Argonauts of The Western Pasific
(1922), merupakan suatu etnografi mengenai kehidupan orang Papua yang
ditulisnya dengan gaya bahasa yang sangat menarik dan dengan suatu
cara yang sangat khas. Fokus dari buku itu adalah sistem pelayaran
untuk berdagang antarpulau, dalam bahasa setempat disebut kula.
Perahu-perahu bercadik yang berlayar dan pulau ke pulau menempuh
jarak hingga puluhan mil dan memakan waktu berbulan-bulan,
mengedarkan benda-benda suci (sulava)
berupa kalung-kalung yang dibuat dari kerang, ditukarkan dengan
benda-benda suci itu, terjadi berbagai transaksi perdagangan dan
barter secara luas yang meliputi berbagai macam benda ekonomi.
Selain
itu mengenai sistem perdagangan kuda
tersebut, buku Malinowksi juga memuat banyak sekali data dan bahan
keterangan etnografi mengenai susunan masyarakat penduduk Kepulauan
Trobriand, sikap mereka terhadap benda-benda suci sulawa
dan mowali
tadi, dan berbagai cara serta siasat untuk bersaing mendapatkan yang
paling beriwayat dan berharga diantara benda-benda suci itu. Dalam
buku iitu diceritakan juga cara-cara orang mengerahkan tenaga untuk
melaksanakan pelayaran-pelayaran kula,
sistem-sistem dasar dan pimpinan kula,
teknik-teknik pembuat perahu bercadik, berbagai upacara ilmu dukun
serta sihir yang bersangkutan-paut dengan pelayaran kula
dan sebagainya. Semua data etnografi tadi diuraikan oleh Malinowski,
dengan suatu gaya bahasa yang begitu lancar dan memikat, sehingga
seluruh aktivitas kehidupan masyarakat desa-desa di Trobriand itu
tampak terbayang terang di depan mata si pembaca sebagai suatu sistem
yang erat terjalin satu sama lain.
Cara
menulis suatu deskripsi etnografi terintergrasi atau holistik
seperti itu memang merupakan suatu gejala batu dalam ilmu antropologi
ketika itu. Dalam zaman terbitannya buku Malinowski memang banyak
sekali sarjana antropologi dari aliran Kultur Historisch
atau aliran sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan dimuka bumi yang secara ekstrem memusatkan
perhatian mereka terhadap arah-arah penyebaran gepgrafi dari
sekumpulan unsur-unsur kebudayaan tertentu yang sering diambil dan
dipangang terlepas dari jaringan kaitan kebudayaan induknya. Oleh
karena itu, cara penulisan Malinowksi yang menggambarkan integrasi
kebudayaan Trobriand sekitar aktivitas perdagangan kula
sebagai fokusnya, merupakansuatu kontras yang sangat menarik
perhatian.
Aliran
pemikiran megenai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap
kehidupan suatu masyarakat, yang mulai timbul setelah tulisan
Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand itu menarik
perhatian umum, dan disebut lairan Fungsionalisme.
Dalam aliran itu ada berbagai pendapat dari berbagai sarjana
antropologi mengenai fungsi dasar dari berbagai unsur-unsur
kebudayaan menusia.
Berbagai
pendapat itu tidak dibahas lebih lanjut dalam buku pengantar ini,
walaupun ada baiknya pula untuk menyebut sebentar pendapat Malinowski
sendiri mengenai itu, yakni: berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam
masyarakat manusia berfungsi untuk memusatkan suatu rangkaian hasrat
naluri akan kebutuhan hidup dan makhluk manusia (basic
human needs). Dengan demikian,
unsur “kesenian” misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat
naluri manusia akan keindahan , unsur sistem pengetahuan untuk
memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu. Dengan demikian,
seandainya seorang ahli dapat membuat daftar yang
selengkap-lengkapnya dari hasrat-hasrat naluri manusia di sebelah
kiri, maka di sebelah kanan ia dapat membuat daftar dan unsur-unsur
kebudayaan manusia yang sejajar dengan hasrat tadi. Tetapi harus
berfungsi untuk memuaskan ada unsur-unsur kebudayaan yang tidak hanya
befungsi untuk memuaskan satu hasrat naluri saja, tetapi suatu
kombinasi dan lebih dari satu hasrat. Keluarga, misalnya dapat
dianggap berfungsi guna memenuhi hasrat prokreasi, yaitu melanjutkan
jenisnya dan mengamankan keturunannya itu. Rumah dapat dianggap
berfungsi guna memenuhi hasrat manusia akan perllindungan fisik,
tetapi juga hasrat akan gengsi atau keindahan.
Teorinya menganai fungsi kebudayaan dikembangkan oleh Malinowski pada
masa akhir dari hidupnya sehingga bukunya di mana teori itu
diuraikannya, tidak dialaminya lagi. Buku itu, A Scientific Theory of
Cultur and Other Essays (1944), diterbitkan anusmerta, dua tahun
setelah ia meniggal.
0 komentar:
Posting Komentar