Pada tahun 1982 penulis melakukan
studi perbandingan di Jakarta antara keluarga anak dengan IQ di atas 130
(kriteria anak berbakat intelektual) dan keluarga anak dengan IQ pada taraf
rata – rata. Masing – masing kelompok terdiri atas 50 anak kelas enam sekolah
dasar dari 39 SD lima wilayah DKI Jakarta. Kepada orangtua di beri kuesioner
untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan keluarga anak berbakat intelektual
bila dibangdingkan dengan anak yang mempunyai taraf kecerdasan rata – rata
(Utami Munandar, 1982).
Hasil studi ini menunjukkan bahwa
orangtua anak berbakat mempunyai tingkat pendidikan, jabatan profesional dan
penghasilan yang lebih tinggi. Lebih banyak dari mereka yang mempunyai hobi
membaca, walaupun secara umum kebiasaan membaca semua orangtua belum tinggi.
Taraf aspirasi orangtua anak berbakat sehubungan dengan pendidikan anak lebih
tinggi. Jumlah anak dalam keluarga lebih kecil dan persentase anak berbakat
yang termasuk anak sulung lebih tinggi. Gambaran keluarga anak berbakat ini
menunjukkan kecenderungan yang sama sebagaimana dikemukakan para ahli
berdasarkan penelitian di luar negeri.
Sehubungan dengan ciri – ciri
anak yang menurut orangtua perlu dikembangkan dalam penelitian ini nyata bahwa
orangtua berbakat lebih mementingkan ciri “kekuatan” dan “inisiatif”
dibandingkan orangtua kelompok anak dengan kecerdasan rata – rata. Inisiatif
memang merupakan ciri anak berbakat, seperti dikutip oleh Martinson (1974 : 5):
“…a self – iniatiated student, usually
needing little help in knowing what to do; stars on his own; pursues individual
interests and seeks own direction.”
Dibandingkan orang tua anak
berbakat, orangtua anak dengan IQ rata – rata lebih mementingkan ciri
“kepatuhan” pada anak. Anak berbakat tidak banyak dituntut orangtua untuk
mengerjakan tugas – tugas di rumah dibandingkan dengan anak dengan IQ rata –
rata, sehingga mereka lebih banyak waktu untuk melakukan hal – hal yang mereka
senangi.
Orangtua dari dua kelompok anak
sama dalam memberikan prioritas kepada ciri “kerajinan” dan “kebebasan”. Hal
ini sebetulnya tidak diharapkan dari semua orangtua, terlebih dari orangtua
anak berbakat, karena ke dua ciri tersebut merupakan ciri pribadi kreatif dan
juga ciri anak berbakat.
Penelitian di luar negeri
mengenai keluarga anak kreatif dan berbakat menunjukkan bahwa anak – anak
tersebut “come from family backgrounds
characterized by lack of overdependence of children on parent and stress of
conformity by parent” (Martinson, 1974 : 22).
Seagoe (dikutip Utami Munandar,
1982 : 117) menyebut sebagai karakteristik anak berbakat: “independence in work and study; preference for individualized work;
self – reliance; need for freedom of movement and action.”
Mayoritas orangtua dari kedua
kelompok anak dalam mendidik anak tidak terlalu menekankan pada peraturan yang
ketat, juga tidak terlalu memberi kebebasan, tetapi menentukan peraturan dengan
mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan anak, dengan kata lain, tidak ekstrim
otoriter, tetapi juga tidak terlalu “laissezfaire”
(cenderung membiarkan saja).
Demikianlah sebagian hasil studi
perbandingan keluarga anak berbakat intelektual dengan keluarga anak dengan
tingkat kecerdasan rata – rata di Jakarta (Utami Munandar, 1982). Implikasinya
bagi dunia pengasuhan dan pendidikan anak sehubungan dengan ciri – ciri yang
diharapkan dalam era pembangunan dan globalisasi ini dapat ditafsirkan sebagai
berikut: menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan, ciri – ciri
prakarsa, dapat mengarahkan diri sendiri, kemandirian dalam belajar dan
bekerja, dan kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan dalam tindakan, amat
penting dan perlu dipupuk sejak usia dini dalam keluarga.
Sumber: Kreativitas &
Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Prof Dr. S.C.
Utami Munandar. (Hal 121 -122).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar