Sabtu, 13 Oktober 2012

STUDI TENTANG KELUARGA ANAK BERBAKAT DI INDONESIA


Pada tahun 1982 penulis melakukan studi perbandingan di Jakarta antara keluarga anak dengan IQ di atas 130 (kriteria anak berbakat intelektual) dan keluarga anak dengan IQ pada taraf rata – rata. Masing – masing kelompok terdiri atas 50 anak kelas enam sekolah dasar dari 39 SD lima wilayah DKI Jakarta. Kepada orangtua di beri kuesioner untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan keluarga anak berbakat intelektual bila dibangdingkan dengan anak yang mempunyai taraf kecerdasan rata – rata (Utami Munandar, 1982).

Hasil studi ini menunjukkan bahwa orangtua anak berbakat mempunyai tingkat pendidikan, jabatan profesional dan penghasilan yang lebih tinggi. Lebih banyak dari mereka yang mempunyai hobi membaca, walaupun secara umum kebiasaan membaca semua orangtua belum tinggi. Taraf aspirasi orangtua anak berbakat sehubungan dengan pendidikan anak lebih tinggi. Jumlah anak dalam keluarga lebih kecil dan persentase anak berbakat yang termasuk anak sulung lebih tinggi. Gambaran keluarga anak berbakat ini menunjukkan kecenderungan yang sama sebagaimana dikemukakan para ahli berdasarkan penelitian di luar negeri.

Sehubungan dengan ciri – ciri anak yang menurut orangtua perlu dikembangkan dalam penelitian ini nyata bahwa orangtua berbakat lebih mementingkan ciri “kekuatan” dan “inisiatif” dibandingkan orangtua kelompok anak dengan kecerdasan rata – rata. Inisiatif memang merupakan ciri anak berbakat, seperti dikutip oleh Martinson (1974 : 5): “…a self – iniatiated student, usually needing little help in knowing what to do; stars on his own; pursues individual interests and seeks own direction.”

Dibandingkan orang tua anak berbakat, orangtua anak dengan IQ rata – rata lebih mementingkan ciri “kepatuhan” pada anak. Anak berbakat tidak banyak dituntut orangtua untuk mengerjakan tugas – tugas di rumah dibandingkan dengan anak dengan IQ rata – rata, sehingga mereka lebih banyak waktu untuk melakukan hal – hal yang mereka senangi.

Orangtua dari dua kelompok anak sama dalam memberikan prioritas kepada ciri “kerajinan” dan “kebebasan”. Hal ini sebetulnya tidak diharapkan dari semua orangtua, terlebih dari orangtua anak berbakat, karena ke dua ciri tersebut merupakan ciri pribadi kreatif dan juga ciri anak berbakat.

Penelitian di luar negeri mengenai keluarga anak kreatif dan berbakat menunjukkan bahwa anak – anak tersebut “come from family backgrounds characterized by lack of overdependence of children on parent and stress of conformity by parent” (Martinson, 1974 : 22).

Seagoe (dikutip Utami Munandar, 1982 : 117) menyebut sebagai karakteristik anak berbakat: “independence in work and study; preference for individualized work; self – reliance; need for freedom of movement and action.”

Mayoritas orangtua dari kedua kelompok anak dalam mendidik anak tidak terlalu menekankan pada peraturan yang ketat, juga tidak terlalu memberi kebebasan, tetapi menentukan peraturan dengan mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan anak, dengan kata lain, tidak ekstrim otoriter, tetapi juga tidak terlalu “laissezfaire” (cenderung membiarkan saja).

Demikianlah sebagian hasil studi perbandingan keluarga anak berbakat intelektual dengan keluarga anak dengan tingkat kecerdasan rata – rata di Jakarta (Utami Munandar, 1982). Implikasinya bagi dunia pengasuhan dan pendidikan anak sehubungan dengan ciri – ciri yang diharapkan dalam era pembangunan dan globalisasi ini dapat ditafsirkan sebagai berikut: menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan, ciri – ciri prakarsa, dapat mengarahkan diri sendiri, kemandirian dalam belajar dan bekerja, dan kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan dalam tindakan, amat penting dan perlu dipupuk sejak usia dini dalam keluarga.




Sumber: Kreativitas & Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Prof Dr. S.C. Utami Munandar. (Hal 121 -122).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar