Kulpulan-materi.blogspot.com - Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak – anak muda. Merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak – anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Anak – anak muda yang delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari Latin jevenilis, artinya: anak – anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat – sifat khas pada periode remaja.
Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere” yang berarti, terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, criminal, pelanggaran aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain – lain.
Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak – anak muda di bawah usia 22 tahun.
Pengaruh sosial dan kulturan memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah laku criminal anak – anak remaja. Perilaku anak – anak remaja ini menunjukkan tanda – tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma – norma sosial, mayoritas juvenile delinquency berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15 – 19 tahun dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh gang – gang dielinkuen jadi menurun.
Kejahatan seksual banyak dilakukan oleh anak – anak usia remaja sampai dengan umur menjelan dewasa, dan kemudian pada usia pertengahan. Tindak merampok, menyamun dan membegal, 70% dilakukan oleh orang – orang muda yang berusia 17 – 30 tahun. Selanjutnya, mayoritas anak – anak muda yang terpidana dan dihukum itu disebabkan oleh nafsu serakah untuk memiliki, sehingga mereka banyak melakukan perbuatan mencopet, menjambret, menipu, merampok, menggarong, dan lain – lain. Menurut catatan kepolisian, pad aumumnya jumlah anak laki yangmelakukan kejahatan dalam kelompk gang – gan diperkirakan 50 kali lipat daripada gang anak perempuan, sebab anak perempuan pada umumnya lebih banyak jatuh ke limbah pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria) dan menderita gangguan mental, serta perbuatan minggat dari rumah atau keluarganya.
Anak – anak dalam gang yang delinkuen itu pada umumnya mempunyai kebiasaan memakai uniform atau pakaian yang khas, aneh dan mencolok, dengan gaya rambut khusus, punya lagak tingkah – laku dan kebiasaan khas, suka mendengarkan jenis – jenis lagu tertentu, senang mengunjungi tempat – tempat hiburan dan kesenangan, misalnya ke tempat – tempat pelacuran, suka minum – minum sampai mabuk, suka berjudi dan lain – lain. Pada umumnya mereka senang sekali mencari gara – gara, membuat jengkel hati orang lain, dan menganggap orang dewasa obyek lain yang dijadikan sasaran buruannya.
Di berbagai Negara mereka itu dikenal dengan nama – nama khusus yaitu bar gangs (Argentia), bloustarke (Perancis), bodres (Australia), chimpira (Jepang), Habstarker (Jerman Barat), hooligans (Polandia), nozen (Nederland), raggare (Swedia), stilaygi (Uni Soviet), tapakaroschi (Yugoslavia), tau pau (Taiwan), teddy boys (Inggris), vitelloni (Italia), gali (gabungan anak liar) atau jeger (jagoan keker), Indonesia. Gang – gang ini dikenal pula sebagai sebutan bende.
Secara umum mereka dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah laku anti – sosial yang potensial, disertai dengan banyak pergolakan hati atau kekisruhan batin pada fase – fase remaja dan adolesens. Maka segala gejala keberandalan dan kejahatan yang muncul itu merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha:
- Kedewasaan seksual;
- Pencaharian suautu identitas kedewasaan (Erikson, 1962);
- Adanya ambisi materiil yang tidak terkendali;
- Kurang atau tidak adanya disiplin diri.
Maka dalam konteks perspektif baru dari periode adolesens dan keremajaan, gang delinkuen tadi mereka interpretasikan sebagai manifestasi kebudayaan remaja (Mays, 1961), dan tidak dilihat sebagai bagian dari gang criminal orang – orang dewasa.
Kejahatan anak – anak remaja ini merupakan produk sampingan dari:
- Pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan wataka dan kepribadian anak;
- Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak – anak muda;
- Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak – anak remaja.
Anak – anak yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki control diri, atau justru menyalahgunakan control diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri, disamping meremehkan keberadaanorang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada aumumnya disertai unsur – unsur mental dengan motif – motif subyektif, yaitu unutk mencapai satu obyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya anak – anak muda tadi sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih – lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan adan kedursilaan itu antara lain ialah:
- Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
- Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
- Salah – asuh dan salah – dirik orang tua, sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya.
- Hasrat untuk berkumpul dengan kawansenasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru – niru.
- Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
- Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.
Keseluruhan jumlah tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak – anak remaja tidak dapat diketahui dengan tepat, karena kasus yang dilaporkan kepada polisi dan diajukan ke pengadilan sangat terbatas sekali. Hanya proporsi yang sangat kecil saja dari jumlah kejahatan itu bisa diketahi atau dilaporkan; biasanya berupa tindak criminal yang bengis dan sangat mencolok di mata umum. Kejahatan kecil pada umumnya tidak dilaporkan, karena orang enggan berurusan dengan polisi atau pihak berwajib, atau orang merasa malu jiwa peristiwanya sampai terungkap.
Sumber: Patolosi Sosial 2. KENAKANALAN REMAHA. Dr. Kartini Kartono. (Hal 6 – 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar