Kumpulan Materi - Fenomenologis merupakan suatu metode atau pendekatan untuk mendeskripsikan gejala sebagaimana gejala itu menampakkan dirinya pada pengamat. Gejala yang dimaksud adalah baik gejala yang secara langsung bisa diamati oleh pancaindra (gejala eksternal), maupun gejala yang hanya bisa dialami, dirasakan, diimajinasikan, atau dipikirkan oleh si pengamat, tanpa perlu ada referensi empirisnya (gejala internal).
Yang khas dari fenomenologi adalah bahwa gejala yang hendak diselidiki itu haruslah berupa gejala yang “murni” atau “asli”. Artinya, gejala tersebut jangan dicampurbaurkan dengan gejala lain yang tidak berhubungan atau diintervensi oleh interpretasi – interpretasi lain yang berasal dari kebudayaan, kepercayaan, atau bahkan dari teori – teori dalam ilmu pengetahuan yang telah kita miliki sebelumnya. Ini sesuai dengan tujuan dari fenomenologi itu sendiri, yakni “kembali pada realitasnya sendiri” (zu den sachen selbst). Realitas yang dimaksud tidak lain adalah gejala pertama, murni, dan asli.
Untuk sampai pada gejala seperti itu tentu saja tidak mudah. Akan tetapi, menurut Husserl, penggagas fenomenologi, kita bisa sampai pada gejala murni dan asli, jika kita menggunakan suatu prosedur yang disebut reduksi atau einklamerung (menyimpan dalam tanda kurung). Yang dimaksud dengan penyimpan dalam tanda kurung (einklamerung) adalah tidak mengikutsertakan hal – hal yang tidak esensial dalam proses pengamatan yang kita lakukan. Ambillan contoh berikut ini. Jika kita membaca sebuah paragraph misalnya, maka kata – kata atau kalimat – kalimat tertentu yang dipandang kurang penting, tetapi tampak perlu untuk membantu menjelaskan makna yang hendak disampaikan, kita simpan dalam tanda kurung. Dengan cara ini maka yang tampak pada kita adalah inti atau esensi dan kalimat itu. Demikian pula halnya jika kita mengamati suatu gejala. Dalam mengamati makna suatu gejala, jika pun perlu menyimpan hal – hal yang kita pandang tidak esensial.
Ada tiga langkah reduksi yang dianjutkan oleh Hosserl agar kita sampai pada gejala murni, yakni reduksi fenomenologis, reuksi eidetic, dan reduksi transcendental. Meski tidak semua langkah tersebut relevan bagi analisis eksistensial, ada baiknya kita bahas secara sepintas ketiga langkah tersebut.
Dalam reduksi fenomenologis kita menyimpan dalam tanda kurung semua konsep atau teori berkenaan dengan gejala yang diselidiki. Misalnya, kita hendak mengemati suatu gejala yang disebut “transeksual.” Langkah pertama untuk mengungkap makna dari gejala itu adalah menyimpan dalam tanda kurung konsep – konsep atau teori – teori yang sudah ada tentang transeksual, baik yang berasal dari psikologi, psikiatri, atau kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat kita tentang transeksual. Pengalaman kita tertuju langsung pada tingkah laku atau pengalaman subjek transeksual, tanpa menggunakan perangkat konseptual dan teoretis tentang transeksual.
Dalam reduksi eidetic kita menyimpan dalam tanda kurung gejala – gejala yang tidak berhubungan secara esensial dengan gejala yang dimaksud, meski secara fisik kita melihatnya seolah – olah berhubungan. Misalnya, dulu banyak ahli menghubungkan identitas seks individu dengan jenis kelamin (tubuh fisiologis). Jika jenis kelamin individu adalah laki – laki, maka identitas seksnya pun secara otomatis dianggap laki – laki. Akan tetapi, pada kenyataannya, pada kasus – kasus transeksual, hubungan itu ternyata tidak esensial. Gejala transeksual lebih berhubungan dengan pemaknaan subjek pada tubuhnya, dirinya, dan dunianya, ketimbang dengan tubuh fisiologisnya. Terbukti bahwa meski secara fisiologis tubuh subjek adalah laki – laki, tetapi ia memaknakan diri dan tubuhnya sebagai perempuan. Contoh lain, secara fisik genteng tanah dari sebuah rumah berhubungan dengan rumah itu, tetapi kita tahu banyak rumah tidak menggunakan seng, kayu, asbes, dan seterusnya) sehingga ia (genteng tanah) tidak berhubungan secara esensial dengan rumah. Oleh sebab itu, dalam mendeskripsikan rumah misalnya perhatian kita tertuju hanya pada hal – hal esensial sehingga kita bisa menangkap esensi (eidos) dari gejala rumah yang dimaksud. Kita menyaksikan bahwa esensi rumah lebih banyak berhubungan dengan fungsi untuk identitas, dengan sarana mengekspresikan diri para penghuninya, dengan makna historis dan eksistensilanya bagi pemiliknya, dan lain – lain.
Dalam reduksi transcendental kita bertindak secara sangat radikal, karena harus menyimpan dalam tanda kurung baik konsep atau teori (seperti dalam reduksi fenomenologis) maupun gejala – gejala yang diamati (seperti dalam reduksi eidetic). Lalu gejala apa yang tersisa dalam pengamatan kita? Hanya kesadaran dan aktivitas – aktivitasnya. Kesadaran kita sendiri kini menjadi lapangan penyelidikan, menjadi bidang kajian fenomenologis. Hasilnya penyelidikan Husserl atas gejala kesadaran menunjukkan bahwa kesadaran pada dasarnya adalah suatu aktivitas mental (noetic) yang teratah pada suatu objek yang disadari (neomatic). Esensi kesadaran, dengan perkataan lain, adalah intensionalitas, bergerak atau terarah pada suatu yang disadari. Kesadaran tidak pernah merupakan kesadaran dalam dirinya sendiri (au sich), kesadaran yang terisolasi dari sesuatu yang bukan dirinya. Kesadaran selalu merupakan perpaduan antara tindakan menyadari dan objek disadari.
Dalam penyelidikan Husserl berikutnya ditemukan fakta bahwa intensionalitas pada dasarnya adalh penciptaan atau pemberian makna (konstitusi) pada suatu yang menjadi objek kesadaran. Intensionalitas tidak lain adalah konstitusi. Ini berarti bahwa objek yang diamati atau disadari tidak pernah murni atau objektif karena selalu sudah ada intervensi dari kesadaran, atua diberi makna oleh kesadaran.
Konsekuensi dari pemahaman tentang esensi kesadaran sebagai intersionalitas dan konstitusi adalah bahwa dunia manusia bukanlah dunia objekti, melainkan dunia hasil pemaknaan (kesadaran) manusia. Husserl menyebut dunia manusia sebagai Lebenswelt, dunia yang diciptakan (dimaknakan) dan dihidupi oleh manusia dalam kehidupan sehari – hari. Dengan perkataan lain, berkat intensionalitas kesadaran manusia selalu berada dalam Lebensweli – nya sendiri, hidup menurut perspektifnya sendiri yang khas. Dunia manusia bukan dunia fisik belaka, melainkan dunia makna. Amati contoh berikut ini: seorang transeksual dan seorang laki – laki tulen dibesarkan dalam keluarga yang sama, tinggal di rumah yang sama dan mengenyam pendidikan yang sama. Namun, kedua orang ini memilih dunia yang berbeda karena masing – masing memaknakan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan secara berbeda. Dengan demikian, kedua orang ini memiliki Lebenswelt – nya sendiri – sendiri.
Sumber: ANALISIS EKSISTENSIAL. Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan Psikiatri. Dr. Zainal Abidin, M.Si. (Hal 11 – 14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar