Dalam pranata Wikipedia, didapatkan arti dari pada budaya sebagai berikut: ”
budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia”. Sedangkan para ahli mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai budaya.
budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia”. Sedangkan para ahli mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai budaya.
Menurut Edwar B. Taylor: ” Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya mengandung kepercayaan,kesenian ,moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan- kemampuan lain yang didapat seorang sebagai anggota masyarakat ”.
Sementara itu Selo Soemardjan dan Seelaiman Soemardi , menurut mereka ” kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat”. Dalam definisi globalisasi menurut beberapa ahli, salah satunya adalah Jan Aart Scholte mengatakan globalisasi adalah: ”serangkaian proses dimana relasi sosial menjadi relatif terlepas dari wilayah geografis”. Sementara bila mana menilik definisi budaya diatas, maka bisa diartikan bahwa globalisasi budaya adalah : ”serangkaian proses dimana relasi akal dan budi manusia relatif terlepas dari wilayah geografis”.
Hal ini memunculkan jalinan situasi yang integratif antara akal dan budi manusia disuatu belahan bumi yang satu dengan yang lainnya. Sementara itu dalam pandangan hiperglobalis mereka berpendapat tentang definisi globalisasi budaya adalah: “homogenization of the wold under the uauspices of American popular culture or Western consumerism in general “. Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah proses homogenisasi dunia dibawah bantuan budaya popular Amerika atau paham komsumsi budaya barat pada umumnya. Definisi hiperglobalis tersebut, jika bisa disamakan dengan keanekaragaman istilah globalisasi pada umumnya, yang salah satunya adalah Westernisasi. Dimana ada penyebaran budaya barat terutama kebudayaan Amerika. Namu, jika dilihat lebih lanjut, definisi dari hiperglobalis tidak bisa terlepas dari pada sifat-sifat yang cenderumg mengandung pikiran ekonomi,berorientasi ekonomi. Hal itu jelas dapat dilihat dan dinilai dari penekanan paham konsumsi terhadap budaya Barat pada umumnya. Jadi bisa juga diartikan bahwa, budaya barat adalah budaya yang diperjualbelikan, sementara masyarakat dunia pada umumnya adalah konsumen yang menikmati. Sehingga munculah kondisi dimana istilah Westernisasi digunaklan sebagai simbolis terhadap sifatkonsumerisme tersebut. Baik itu konsumsi terhadap bentuk pemerintahan atau sistim politik, mekanisme pasar atau paham ekonomi , bahkan hingga bentuk celana jeans atau kebudayaan.
Peran Media Masa
Peran media masa dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan modern tidak ada yang menyangkal, menurut Mc Quail dalam bukunya Mass Communication Theories(2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.
Pertama, melihat media masa sebagai window on event and experriece. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi disana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Peran media masa dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan modern tidak ada yang menyangkal, menurut Mc Quail dalam bukunya Mass Communication Theories(2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.
Pertama, melihat media masa sebagai window on event and experriece. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi disana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap a mirror of event in society and the word implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola seringmerasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan , konflik, pornografi, dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para professional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahwi apa yang mereka inginkan.
Ketiga, memandang media masa sebagai filter, sebagai guide atau gatekeeper
Keempat, media masa acapkali juga dipandang sebagai guide, penunjuk jalan
Kelima, melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai
Keenam, media masa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat
Dampak
Globalisasi Media Terhadap Budaya dan Prilaku Masyarakat
Indonesia.
Bertolak dari
besarnya peran media massa dalam mempengaruhi pemikiran khayalaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada masa yang akan datang
harus dipikirkan lagi. Apalagi menghadapi globalisasi media massa yang tak
terelakan lagi. Globalisasi
media massa merupakan proses yang secara nature terjadi, sebagaimana
jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah diterka. Pada
titik - titik tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal
oleh bangsa Indonesia. Jadi kehawatiran besar terasakan benar adanya ancaman,
serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai – nilai luhur dalam paham
kebangsaan. Imbasnya adlah
munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti : Bazaar ,Cosmopolitan ,Spice,FHM, (for
Him Magazine) ,Good Housekeeping
,Trax, dan sebagainya.
Begitu juga membanjirnya program tayangan dan
produk tanpa dapat dibendung.Sehingga bagaimana bagi negara berkembang
seperti Indonesia menyikapi penomena traspormasi media terhadap prilaku masyarakat dan budaya lokal,karena globalisasi media dengan segala yang
dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah, koran, buku film, vcd, HP, dan
kini lewat internet sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan
masyarakat.
Saat ini
masyarakat sedang mengalami serbuan yang hebat dari berbagai produk
poernografi berupa tabloitd, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, rasio,
dan terutama adalah peredaran bebas VCD.Baik yang datang dari luar negeri
maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pernografi bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa
orang asing menganggap Indonesia sebagai ”surga pornografi”
karena sangat mudahnya mendapat produk-produk pornografi dan harganya pun
murah. Kebebasan pers
yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tidak bertanggung jawab, untuk menerbitkan produk-produk
pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin
sebagai hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan.
Padahal dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang pers No 40 tahun 1999itu
sendiri, mencantumkan bahwa: ”pers berkewajiban memberikan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat”.
Dalam media audio visualpun ada Undang-Undang yang secara spesifik
Antisipasi
Strategis Menanggulagi Dampak Negatif Globalisasi Budaya
Ketidakberdayaan
tradisi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya
tidak boleh dibiarkan begitu saja .Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang
mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus dilawan, karena itu
berarti pelenyapan atas sumber lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal.
Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk
Dalam kasus Globalisasi Media, sekarang di Indonesia bermunculan
Dalam masyarakat terutama di daerah pedesaan , dikenal adanya opinion
Tapi yang lebih
penting lagi adalah ketegasan Pemerintah dalam menerapkan hukum
baik Undang-Undang Pers, Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang
Penyiaran secara tegas dan konsisten disamping tentu saja partisipasi dari
masyarakat untuk bersama-sama mencegah dampak buruk dari globalisasi
media yang kalau dibiarkan bisa menghancurkan negeri ini. Kemudian hal
yang tidak kalah pentingnya dalam menghadapi globalisasi budaya adalah
nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan,
tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang
dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak
asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap
negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi lokal yang
dimiliki Indonesia, misalnya di Bali yang dikenal dengan ”Tri Hita Karana”, yang
mengajarkan pada masyarakat Bali, bagaimana harus bersikap dan berperilaku
yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan
hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan hidup.
Oleh karena itu
globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan
pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang
dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan
pengembangan budaya. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib dan sepenanggungan
diantara warga sehingga perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah.
0 komentar:
Posting Komentar