Di awal masa kepemimpinannya,
pemerintahan Orde Baru menyatakan bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan demokrasi Pancasila. Pernyataan
tersebut tentu saja membuat para tokoh politik, kaum intelektual, tokoh umum,
tokoh pers terkemuka, dan lain-lain menyambutnya dengan antusias sehingga
lahirlah istilah Pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat
menekankan pentingnya pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember
1984), Pers Pancasila adalah pers
Indonesia dalan arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakikat Pers pancasila adalah pers
yang sehat, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi
rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers
dengan pemerintah ketika itu dipermanis dengan keluaran Undang-Undang Pokok
Pers (UUPP) Nomor 11 Tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembreidelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat izin terbit.
Kemesraan tersebut ternyata berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak
terjadinya peristiwa “Paristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974),
kebebasan pers mengalami set-back (kembali
seperti zaman Orde Lama).
Peristiwa Malari tahun 1974 menyebabkan beberapa surat kabar
dilarang terbit. Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta (termasuk Kompas)
diberangus untuk beberapa waktu pernyataan maaf. Pemerintah lebih menggiatkan
larangan-larangan melalui telepon pers kode etik Jurnalistik sebagai Self-Consorship. Demikian juga
pengawasan terhadap kegiatan pers dan wartawan diperketat menjelang Sidang MPR
1978.
Pers pasca-Malari merupakan pers
yang cenderung “mewakili” kepentingan penguasa, pemerintah, atau negara. Pada
saat itu, pers jarang, malah tidak pernah melakukan kontrol sosial secara
kritis, tegas, dan berani. Pers
pasca-Malari tidak artikulturatif dan mirip dengan zaman rezim Demokrasi
Terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan, yaitu rezim Orde Baru melihat pers
tidak lebih dari sekedar dari institusi politik yang harus diatur dan kontrol
seperti hanya dengan organisasi massa dan partai politik.
Sumber: Buku Pendidikan Kewarganegaraan. Budiyanto. Penerbit erlangga.
Sumber: Buku Pendidikan Kewarganegaraan. Budiyanto. Penerbit erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar