Minggu, 19 Februari 2012

PERS DI ERA DEMOKRASI PANCASILA DAN ORDE BARU


Di awal masa kepemimpinannya, pemerintahan Orde Baru menyatakan bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan demokrasi Pancasila. Pernyataan tersebut tentu saja membuat para tokoh politik, kaum intelektual, tokoh umum, tokoh pers terkemuka, dan lain-lain menyambutnya dengan antusias sehingga lahirlah istilah Pers Pancasila.

Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang Pers Pancasila. Menurut rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalan arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakikat Pers pancasila adalah pers yang sehat, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.

Masa “bulan madu” antara pers dengan pemerintah ketika itu dipermanis dengan keluaran Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor 11 Tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembreidelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat izin terbit. Kemesraan tersebut ternyata berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya peristiwa “Paristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).

Peristiwa Malari tahun 1974 menyebabkan beberapa surat kabar dilarang terbit. Tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta (termasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu pernyataan maaf. Pemerintah lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon pers kode etik Jurnalistik sebagai Self-Consorship. Demikian juga pengawasan terhadap kegiatan pers dan wartawan diperketat menjelang Sidang MPR 1978.

Pers pasca-Malari merupakan pers yang cenderung “mewakili” kepentingan penguasa, pemerintah, atau negara. Pada saat itu, pers jarang, malah tidak pernah melakukan kontrol sosial secara kritis, tegas, dan berani. Pers  pasca-Malari tidak artikulturatif dan mirip dengan zaman rezim Demokrasi Terpimpin. Perbedaan hanya pada kemasan, yaitu rezim Orde Baru melihat pers tidak lebih dari sekedar dari institusi politik yang harus diatur dan kontrol seperti hanya dengan organisasi massa dan partai politik.

Sumber:  Buku Pendidikan Kewarganegaraan. Budiyanto. Penerbit erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar