Jumat, 02 Maret 2012

FUNGSI UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

ada beberapa sarjana antropologi lain yang mencoba mencapai pengertian mengenai masalah integrasi kebuadayaan integrasi kebudayaan dan jaringan berkaitan antara unsur-unsur dengan cara meneliti fungsi unsur-unsur itu. Istilah “fungsi” itu dapat dipakai dalam bahasa sehari-hari maupun dalam bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda-beda. Seorang sarjana antrpologi , M. E. Spiro, pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara pemakaian kata “fungsi” itu ialah
  1. menerangkan “fungsi” itu sebagai hubungan antara suatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain.)
  2. menerangkan kaitan antara satu hal dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh x tadi, juga berubah).
  3. Menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme).

“Fungsi” dalam arti pertama selain dalam bahasa ilmiah, juga merupakan dalah satu arti dalam bahasa sehari-hari, arti kedua dangat penting dalam ilmu pasti, tetapi juga mempunyai arti dalam ilmu-ilmu sosial, antara lain dalam ilmu antropologi, sedangkan dalam arti ketiga terkandung kesadaran para sarjana antropologi akan integrasi kebudayaan itu.

Kesadaran akan metode untuk memandang suatu yang hidup sebagai sistem yang terintegrasi, timbul setelah tahun 1925 ketika buku etnografitulisan B. Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand, yang terletak di sebelah tenggara Papua Nugini, menjadi terkenal. Buku The Argonauts of The Western Pasific (1922), merupakan suatu etnografi mengenai kehidupan orang Papua yang ditulisnya dengan gaya bahasa yang sangat menarik dan dengan suatu cara yang sangat khas. Fokus dari buku itu adalah sistem pelayaran untuk berdagang antarpulau, dalam bahasa setempat disebut kula. Perahu-perahu bercadik yang berlayar dan pulau ke pulau menempuh jarak hingga puluhan mil dan memakan waktu berbulan-bulan, mengedarkan benda-benda suci (sulava) berupa kalung-kalung yang dibuat dari kerang, ditukarkan dengan benda-benda suci itu, terjadi berbagai transaksi perdagangan dan barter secara luas yang meliputi berbagai macam benda ekonomi.

Selain itu mengenai sistem perdagangan kuda tersebut, buku Malinowksi juga memuat banyak sekali data dan bahan keterangan etnografi mengenai susunan masyarakat penduduk Kepulauan Trobriand, sikap mereka terhadap benda-benda suci sulawa dan mowali tadi, dan berbagai cara serta siasat untuk bersaing mendapatkan yang paling beriwayat dan berharga diantara benda-benda suci itu. Dalam buku iitu diceritakan juga cara-cara orang mengerahkan tenaga untuk melaksanakan pelayaran-pelayaran kula, sistem-sistem dasar dan pimpinan kula, teknik-teknik pembuat perahu bercadik, berbagai upacara ilmu dukun serta sihir yang bersangkutan-paut dengan pelayaran kula dan sebagainya. Semua data etnografi tadi diuraikan oleh Malinowski, dengan suatu gaya bahasa yang begitu lancar dan memikat, sehingga seluruh aktivitas kehidupan masyarakat desa-desa di Trobriand itu tampak terbayang terang di depan mata si pembaca sebagai suatu sistem yang erat terjalin satu sama lain.

Cara menulis suatu deskripsi etnografi terintergrasi atau holistik seperti itu memang merupakan suatu gejala batu dalam ilmu antropologi ketika itu. Dalam zaman terbitannya buku Malinowski memang banyak sekali sarjana antropologi dari aliran Kultur Historisch atau aliran sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan dimuka bumi yang secara ekstrem memusatkan perhatian mereka terhadap arah-arah penyebaran gepgrafi dari sekumpulan unsur-unsur kebudayaan tertentu yang sering diambil dan dipangang terlepas dari jaringan kaitan kebudayaan induknya. Oleh karena itu, cara penulisan Malinowksi yang menggambarkan integrasi kebudayaan Trobriand sekitar aktivitas perdagangan kula sebagai fokusnya, merupakansuatu kontras yang sangat menarik perhatian.

Aliran pemikiran megenai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan suatu masyarakat, yang mulai timbul setelah tulisan Malinowski mengenai penduduk Kepulauan Trobriand itu menarik perhatian umum, dan disebut lairan Fungsionalisme. Dalam aliran itu ada berbagai pendapat dari berbagai sarjana antropologi mengenai fungsi dasar dari berbagai unsur-unsur kebudayaan menusia.

Berbagai pendapat itu tidak dibahas lebih lanjut dalam buku pengantar ini, walaupun ada baiknya pula untuk menyebut sebentar pendapat Malinowski sendiri mengenai itu, yakni: berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memusatkan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dan makhluk manusia (basic human needs). Dengan demikian, unsur “kesenian” misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan , unsur sistem pengetahuan untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu. Dengan demikian, seandainya seorang ahli dapat membuat daftar yang selengkap-lengkapnya dari hasrat-hasrat naluri manusia di sebelah kiri, maka di sebelah kanan ia dapat membuat daftar dan unsur-unsur kebudayaan manusia yang sejajar dengan hasrat tadi. Tetapi harus berfungsi untuk memuaskan ada unsur-unsur kebudayaan yang tidak hanya befungsi untuk memuaskan satu hasrat naluri saja, tetapi suatu kombinasi dan lebih dari satu hasrat. Keluarga, misalnya dapat dianggap berfungsi guna memenuhi hasrat prokreasi, yaitu melanjutkan jenisnya dan mengamankan keturunannya itu. Rumah dapat dianggap berfungsi guna memenuhi hasrat manusia akan perllindungan fisik, tetapi juga hasrat akan gengsi atau keindahan.

Teorinya menganai fungsi kebudayaan dikembangkan oleh Malinowski pada masa akhir dari hidupnya sehingga bukunya di mana teori itu diuraikannya, tidak dialaminya lagi. Buku itu, A Scientific Theory of Cultur and Other Essays (1944), diterbitkan anusmerta, dua tahun setelah ia meniggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar