Metode Holistik
seorang
sarjana antropologi tidak hanya bertugas menganalisis kebudayaan
dengan mengetahui berbagai cara untuk memerincinya de dalam
unsur-unsur yang kecil, dan mempelajari unsur-unsur kecil itu secara
detail, tetapi Ia juga bertugas untuk dapat memahami kaitan antara
tiap unsuru kecil itu, dan ia harus juga mampu melihat kaitan antara
tiap unsur kecil itu, dan ia harus juga mampu melihat kaitan antara
setiap unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Dengan perkataan lain,
ia harus paham akan masalah integrasi sari unsur-unsur kebudayaan.
Para
ahli natropologi biasanya memakai istilah “holistik” (holistic)
untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati suatu kebudayaan
itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.
Ilmu antropologi memang telah mengembangkan beberapa konsep yang
dapat dipakai untuk memahami berbagai macam kaitan antara berbagai
macam kaitan antara berbagai unsur kecil dalam suatu kebudayaan itu.
Para ahli antropologi tentu sudah sejak lama mengetahui akan adanya
integrasi atau jaringan terkait unsur-unsur kebudayaan itu dipelajari
secara mendalam, baru setelah tahun 1920 timbul, dan baru sesudah
waktu itu masalah integrasi menjadi bahan diskusi dalam teori. Dalam
pada itu timbul beberapa konsep untuk menganalisis masalah integrasi
kebudayaan, yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur kebudayaan.
Fokus kebudayaan, etos kebudayaan , dan kepribadian umum.
Pikiran
Kolektif
sudah
sejak akhir abad ke-19 ada seorang ahli sosiologi dan antropologi
Prancis, bernama E. Durkheim, yang mengembangkan konsep
representations collectives (pikiran-pikiran
kolektif) dalam sebuah karangan berjudul Representations
Individuelles et Representations Collectives (1898).
cara Durkheim menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda
dengan cara ilmu psikologi menguraikan konsep berfikir. Ia juga
beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah yang
primer tadi melalui proses sekunder, menjadi bayangan-bayangan dan
sejumlah dari semua bayangan tentang suatu hal yang khas, menjadi
gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut
representation. Oleh
karena gagasan berada dalam alam pikiran seorang individu, maka
disebutnya representation individuelle.
Gagasan
seperti itu bisa juga dimiliki oleh lebih dari satu individu, bahkan
juga oleh sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Dalam hal itu
kita sering bicara tentang “gagasan umum” atau “gagasan
masyarakat”, sedangkan Durkheim bicara tentang “gagasan kolektif”
atau representation collective.
Kecuali itu Durkheim berpendapat bahwa suatu gagasan yang sudah
dimiliki oleh sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa satu
gagasan tunggal mengenai suatu hal yang khas, melainkan sudah
berkaitan dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks
gagasan-gagasan, sehingga ia selalu mempergunakan istilah
representations collectives dalam
bentuk jamak. Untuk membedakan istilah representations
collectives dalam bentuk jamak.
Untuk membedakan antara gagasan tunggal dengan kompleks berbagai
gagasan yang dimiliki oleh sebagian besar dari warga masyarakat, agar
jelas sebaiknya kita pakai istilah khusus untuk menerjemahkan istilah
Durkheim yang bentuk jamak, yaitu istilah “pikiran kolektif”,
sebab istilah “pikiran” memang lebih luas istilah dari istilah
“gagasan”.
Durkheim
juga mengajukan suatu ciri yang amat penting, yaitu apabila suatu
kompleks pikiran kolektif sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka
seluruh kompleks itu berada terbentuk berada di luar si indicidu. Hal
itu disebabkan karena keseluruhan pikiran kolektif dan
gagasan-gagasan sehingga walaupun individu-individu yang
mengembangkannya itu sudah meninggal, keseluruhan itu tetap dimiliki
oleh generasi berikutnya. Selain diluar individu, menurut Dukrkheim
representation collectives itu
menjadi pedoman bagi tingkah laku atau tindakan bagi para warga
masyarakat tadi.
Istilah-istilah
lain yang sering digunakan untuk menyebut konsep “pikiran umum”
atau “pikiran kolektif”, tadi adalah configuration atau
“konfigurasi”. Istilah itu mula-mula dipakai ileh seorang ahli
linguistik dan antropologi, E. Sapir, dalam bukunya The
Unconscious Patterning of Behavior in Society (1927)
dalam arti yang kurang lebih sama dengan representations
allectives dari Durkheim. Namun,
istilah configuration ini
walaupun banyak dipakai kurang di kembangkan lebih lanjut dalam ilmu
antropologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar