Kamis, 01 Maret 2012

INTEGRASI KEBUDAYAAN

Metode Holistik 
seorang sarjana antropologi tidak hanya bertugas menganalisis kebudayaan dengan mengetahui berbagai cara untuk memerincinya de dalam unsur-unsur yang kecil, dan mempelajari unsur-unsur kecil itu secara detail, tetapi Ia juga bertugas untuk dapat memahami kaitan antara tiap unsuru kecil itu, dan ia harus juga mampu melihat kaitan antara tiap unsur kecil itu, dan ia harus juga mampu melihat kaitan antara setiap unsur kecil itu dengan keseluruhannya. Dengan perkataan lain, ia harus paham akan masalah integrasi sari unsur-unsur kebudayaan.

Para ahli natropologi biasanya memakai istilah “holistik” (holistic) untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.

Ilmu antropologi memang telah mengembangkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk memahami berbagai macam kaitan antara berbagai macam kaitan antara berbagai unsur kecil dalam suatu kebudayaan itu. Para ahli antropologi tentu sudah sejak lama mengetahui akan adanya integrasi atau jaringan terkait unsur-unsur kebudayaan itu dipelajari secara mendalam, baru setelah tahun 1920 timbul, dan baru sesudah waktu itu masalah integrasi menjadi bahan diskusi dalam teori. Dalam pada itu timbul beberapa konsep untuk menganalisis masalah integrasi kebudayaan, yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur kebudayaan. Fokus kebudayaan, etos kebudayaan , dan kepribadian umum.

Pikiran Kolektif

sudah sejak akhir abad ke-19 ada seorang ahli sosiologi dan antropologi Prancis, bernama E. Durkheim, yang mengembangkan konsep representations collectives (pikiran-pikiran kolektif) dalam sebuah karangan berjudul Representations Individuelles et Representations Collectives (1898). cara Durkheim menguraikan konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan cara ilmu psikologi menguraikan konsep berfikir. Ia juga beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah yang primer tadi melalui proses sekunder, menjadi bayangan-bayangan dan sejumlah dari semua bayangan tentang suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation. Oleh karena gagasan berada dalam alam pikiran seorang individu, maka disebutnya representation individuelle.

Gagasan seperti itu bisa juga dimiliki oleh lebih dari satu individu, bahkan juga oleh sebagian besar dari warga suatu masyarakat. Dalam hal itu kita sering bicara tentang “gagasan umum” atau “gagasan masyarakat”, sedangkan Durkheim bicara tentang “gagasan kolektif” atau representation collective. Kecuali itu Durkheim berpendapat bahwa suatu gagasan yang sudah dimiliki oleh sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa satu gagasan tunggal mengenai suatu hal yang khas, melainkan sudah berkaitan dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks gagasan-gagasan, sehingga ia selalu mempergunakan istilah representations collectives dalam bentuk jamak. Untuk membedakan istilah representations collectives dalam bentuk jamak. Untuk membedakan antara gagasan tunggal dengan kompleks berbagai gagasan yang dimiliki oleh sebagian besar dari warga masyarakat, agar jelas sebaiknya kita pakai istilah khusus untuk menerjemahkan istilah Durkheim yang bentuk jamak, yaitu istilah “pikiran kolektif”, sebab istilah “pikiran” memang lebih luas istilah dari istilah “gagasan”.

Durkheim juga mengajukan suatu ciri yang amat penting, yaitu apabila suatu kompleks pikiran kolektif sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada terbentuk berada di luar si indicidu. Hal itu disebabkan karena keseluruhan pikiran kolektif dan gagasan-gagasan sehingga walaupun individu-individu yang mengembangkannya itu sudah meninggal, keseluruhan itu tetap dimiliki oleh generasi berikutnya. Selain diluar individu, menurut Dukrkheim representation collectives itu menjadi pedoman bagi tingkah laku atau tindakan bagi para warga masyarakat tadi.

Istilah-istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut konsep “pikiran umum” atau “pikiran kolektif”, tadi adalah configuration atau “konfigurasi”. Istilah itu mula-mula dipakai ileh seorang ahli linguistik dan antropologi, E. Sapir, dalam bukunya The Unconscious Patterning of Behavior in Society (1927) dalam arti yang kurang lebih sama dengan representations allectives dari Durkheim. Namun, istilah configuration ini walaupun banyak dipakai kurang di kembangkan lebih lanjut dalam ilmu antropologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar