Psikologi kognitif, sebenarnya, merupakan modifikasian dari behaviorisme yang tidak dapat menjawab seluruh hal ihwal manusia. Psikologi kognitif memandang manusia bukan sekadar makhluk pasif yang tunduk sepenuhnya pada lingkungan. Dia bukan lagi meja lilin atau tabula rasa yang dibentuk semuanya oleh stimulus-stimulus. Manusia tidak lagi seperti mesin. Ia adalah pengolah informasi dan pemecaha masalah. Secara aktif, ia dapat memerhatikan, menafsirkan, mengolah, dan menggunakan informasi tersebut. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan. Manusia adalah makhluk yang berusaha memahami lingkungan.
Asal-usul psikologi kognitif terlacak sampai kepada aliran rasionalisme dalam filsafat. Immanuel Kant, Rene Descartes, bahkan Plato, disebut-sebut sebagai para pioner psikologi ini. Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa pengindraan manusia, melalui pengalaman langsung, sebagaimana ditelan habis-habisan oleh aliran Empirisme—sangguo memberikan kebenaran? Alat-alat indriawi manusia dipertanyakan oleh kaum rasionalis karena sering gagal menyajikan informasi yang akurat. Psikologi muslim yang juga mempertanyakan (meragukan) kedudukan alat-alat indriawi dalam menangkap kebenaran adalah Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan bernada ragu itu dimuat dalam bukunya, Al-Munqizd min Al-Dhalal.
Kant, sebagai moyang aliran kognitif, menyimpulkan bahwa jiwalah yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan piranti-piranti indriawi. Jiwalah yang menafsirkan, mendistorsi, dan mencari makna. Tidak selamanya kita merespons stimulus eksternal. Seorang ibu yang sedang tidur lelap tidak terganggu oleh hiruk-pikuk dan riuh rendah suara di luar. Akan tetapi, terganggu oleh hiruk-pikuk dan riuh rendah suara di luar. Akan tetapi, ketika bayi yang ada disampingnya menangis, dengan tergesa-gesa ia bangun. Aliran kognitif lebih dekat dengan aliran tasawuf dalam islam yang menyatakan bahwa, pengetahuan yang ditemukan jiwa dijamin aman. Lain halnya dengan pengetahuan yang didapat melalui alat indriawi. Seiring dengan kemungkinan terjadinya error pada alat-alat indriawi, tidak mustahil pengetahuan yang didapatnya pun mengalami error. Demikian, menurut Al-Ghazali dan Abu Thalib Al-Makki.
Aliran kognitif lebih berwarna ketika dikembangkan oleh seorang psikologi Jerman bernama Kunt Lewin. Lewin perilaku manusia harus dilihat konteksnya. Dari ranah fisika, Lwin meminjam konsep medan (Field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang memngaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukan sekedar respons pada stimuli. Akan tetapi, ia adalah produk berbagai gaya yang memengaruhinya secara spontans. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang memengaruhi manusia dengan istilah seluruh gaya psikologis yang memengaruhi manusia ddengan istilah ruang hidup (life space). Ruang hidup terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang didasarinya, dan kesadaran diri. Lewin merumuskan secara pasti bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi antara dirinya dengan ruang psikologisnya.
Lebih lanjut, Lwein membahas tensi yang menunjukkan suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan-kebutuhan psikologis belum terpenuhi. Konsep tensi melahirkan banyak teori yang digabung dengan istilah teori konsistensi kognitif. Secara dasar, teori ini menyebutkan bahwa individu berusaha mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan pengalamannya. Bila makna tidak optimal, timbul tensi yang memotivasi orang untuk menguranginya.
Sumber:
Buku Psikologi Pendidikan Dr.H.Mahmud, M.Si., pengantar: Prof. Pupuh
Fatturahman
0 komentar:
Posting Komentar