Sabtu, 03 Maret 2012

PRINSIP-PRINSIP PSIKODIAGNOSTIK

sebagai prinsip-prinsip dalam pelaksanaan psikodiagnostik si antaranya adalah:
  1. memberikan perlakuan yang sama pada semua individu yang hendak dites, meliputi:
  • interaksi yang sama antar klien dan psikolog.
  • Situasi pengetesan yang sama (administrasi dan penyediaan lingkungan). Misalnya, ada suatu pengalaman, klien yang dites memakai meja hasilnya berada dengan yang tidak memakai meja (lebih rendah). Pemberian perlakuan yang sama itu untuk memperoleh hasil: kor dari tiap individu dapat dibandingkan, dan individu menjadi variabel bebas dalam situasi pengetesan.
  1. Ada kesadaran individu untuk menjalani psikodiagnostik, sebab jika tidak ada kesadaran, tentulah hasilnya tidak sesuai dengan tujuannya.
  2. Tersedia sarana dan prasarana untuk pemeriksaan psikologis, misalnya ada macam-macam tes yang diperlukan; ruang pemeriksaan memadai, waktunya cocok dan cukup.
  3. Biaya pemeriksaan terjangkau oleh klien.
  4. Psikologinya memang profesional untuk tugas tersebut dan merahasiakan data klien.
Strategi maksudnya mencari posisi yang tepat (menguntungkan), sehingga pekerjaan tersebut berhasil baik. Maka strategi yang harus ditempuh adalah:
  1. harus tepat guna.
  2. Ekonomis dan praktis, mudah, mengena, tidak berlarut-larut, dapat menyelesaikan masalahnya.
  3. Diusahakan agar klien tidak tergantung pada psikolog.
  4. Kllien diberi motivasi agar tidak dapat menentukan sikapnya sendiri, sehingga tidak selalu minta pertimbangan kepada psikolog.
Pelaksanaan psikodiagnostik memerlukan kebijakan, artinya bahwa pemeriksaan psikolog sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pemeriksaan tersebut. Misalnya, cara dan alat pemeriksaan sipilihkan yang praktis dan ekonomis. Sikap awal yang harus diambil adalah:
  1. menentukan, apakah suatu masalah membutuhkan pemeriksaan psikologis.
  2. Perlu menentukan metode yang cocok.
  3. Pemeriksaan individual atau kelompok.
  4. Perlu menentukan alat bantu untuk mengumpulkan data yang diperlukan.
Menurut aspek yang akan diperiksa, tentulah memerlukan strategi yang berbeda. Misalnya, untuk memeriksa aspek-aspek kognitif, memerlukan strategi pengujian. Tetapi pada aspek non-kognitif tidak perlu strategi pengujian, karena pemeriksaan aspek-aspek banyak kendalanya. Untuk pemeriksaan aspek non-kognitif diusahakan strategi lain misalnya dengan memakai tes situasi. Cara melakukan tes situasi adalah klien ditempatkan pada situasi tertentu, yang diusahakan semirip mungkin dengan situasi nyata dalam kehidupan, dan kemudian mengalami bagaimana klien tadi bereaksi terhadap situasi tersebut. Kelemahan dari tes situasi antara lain adalah:
  1. tidak mungkin untuk membuat situasi yang mirip denga situasi senyatanya. Misalnya, untuk mengetahui bagaimana reaksi seseorang jika sekonyong-konyong digertak. Ternyata, dalam percobaan, pengetesan berlagak. Ternyata, dalam percobaan, pengetesan berlagak mengertaknya, digerta oleh pengetes tidak sama dengan digertak oleh atasan, suami, atau isteri.
  2. Memakai model penggantian, yakni pengalamatan perilaku diganti dengan pernyataan yang diungkapkan oleh klien melalui pertanyaan yang diungkapkan oleh klien melalui pertanyaan yang disediakan oleh psikolog. Pertanyaan-pertanyaan tersebut disebut inventori. Memang, inventori tidaklah bebas dari kelemahan-kelemahan, tetapi pengetesannya jauh lebih praktis daripada tes situasi.
  3. Memakai teknik proyeksi, yakni memajikan stimulus yang dapat merangsang pikiran dan perasaan klien. Teknik ini terkenal dengan nama teknik proyeksi. Perangsang-perangsang dalam teknik proyeksi berupa gambar-gambar yang tidak bermakna, misalnya bercak-bercak tinta yang dibuat oleh Herman Rorschach, lalu terkenal dengan nama Tes Rorschach. Murray membuat gambat-gambat berseri untuk diceritakan oleh klien. Gambar-gambar ini lalu terkenal dengan nama Tes TAT (Thematis Apperception Test).

    Sumber: Buku  Pengantar Psikodiagnostik. KiFudyartanta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar