Perkembangan
sikap peneliti non-Barat di bidang psikologi lintas-budaya dapat
dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap di mana para
peneliti yang umumnya menerima pendidikan dari negara-negara Barat,
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui buku-buku,
melakukan penelitian yang sudah dilakukan di Barat, tanpa lakukan
penelitian yang sudah dilakukan di Barat, tanpa memperhitungkan
pengaruh dari kekhasan budaya mereka. Mengingat bahwa penelitian yang
dilakukan di negara non-Barat (yang kebanyakan adalah negara
berkembang) lebih terbatas baik dari segi dana maupun kekerasan
prosedur penelitian, sulit untuk dapat memberikan tambahan sumbangan
teoritis kepada apa yang yang telah ditemukan peneliti di Barat. Di
samping itu, mengingat bahwa kekhasan budaya setempat tidak
diikursertakan, hasil penelitian ini juga kurang dapat dirasakan
relenvansi dan manfaat praktisnya bagi kehidupan sehari-hari individu
setempat. Dapat dikatakan bahwa manfaat penelitian semacam ini
hanyalah untuk latihan penelitian yang bersangkutan.
Tahap
kedua adalah tahap di mana para peneliti dari negara Barat mulai
mengajak para peneliti lintas-budaya mereka, karena pengetahuan
peneliti setempat dibutuhkan untuk mengembangkan dan
menginterprestasi hal-hal yang emic
sifatnya. Kesempatan untuk bekerjasama dalam kedudukan yang kurang
lebih sederajat telah membuka peluang bagi para peneliti non-Barat
untuk mengkaji teori-teori dan penelitian yang telah di lakukan di
Barat secara kritis dengan menggunakan pengetahuan mereka tentang
budaya setempat. Dengan demikian ada nilai tambah yang dapat
disumbangkan oleh para peneliti non-Barat untuk dapat melakukan
modifikasi terhadap teori-teori yang telah dikembangkan di Barat
sehingga lebih dapat digeneralisasikan. Kendati demikian, mengingat
topik penelitian sebagian besar ditentukan oleh para peneliti Barat
yang minatnya lebih penelitian untuk individu dan masyarakat setempat
masih terbatas dan belum tentu menjawab kebutuhan yang ada.
Tahap
ketiga adalah tahap di mana para peneliti non-Barat yang aktif
terlibat dalam penelitian-penelitian lintas-budaya di Barat baik
mengenai perkembangan teori maupun metode penelitian. Pada tahap ini
banyak di antara mereka merasa kurang puas karena topik-topik
penelitian yang diminati oleh rekan-rekan mereka yang berasal dari
Barat tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat mereka. Kebanyakan
dari para peneliti yang sebagian besat berasal dari banyakan dari
para peneliti yang sebagian besar berasal dari negara berkembang ini
berpendapat bahwa penelitian yang hanya ditujukan untuk memuaskan
keingintahuan ilmiah tetapi tidak secara lansung dapat digunakan
untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat terlalu mahal
bagi negara berkembang. Walaupun tetap berpartisipasi dalam
penelitian psikologi lintas-budaya yang dilakukan bersama rekan-rekan
peneliti dari negara maju, para peneliti psikologi di negara
berkembang mulai lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat mereka.
Perkembangan psikologi sosial komunitas di Amerika Selatan,
penelitian tentang kemiskinan dan hubungannya dengan perkembangan
nasional di India, sikolohiyang Pilipino
di Filipina, yang dikemukakan pada Bab 16 Psikologi dan Negara
Berkembang dalam buku ini, merupakan contoh dari kecenderungan
tersebut.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini para peneliti psikologi
lintas-budaya di negara berkembang mempunyai dua perhatian. Pertama,
ikut berpartisipasi dalam mencari teori-teori psikologi yang bersifat
universal di mana kekhasan budaya mereka ikut memberikan sumbangan.
Kedua, mengembangkan teori-teori psikologi yang relevan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat mereka. Indigenous pychology
yang dibahas dalam buku ini dapat dimasukkan dalam kelompok perhatian
yang kedua ini.
Perkembangan di atas yaitu tentang hubungan antara perkembangan
psikologi lintas-budaya dan perkembangan, dengan sendirinya berlaku
pula bagi peneliti psikologi di Indonesia. Kendati demikian, perlu
diingat bahan walaupun ada tiga tahap perkembangan sikap peneliti
non-Barat, tidak berarti bahwa semua peneliti sudah sempat pada tahap
ketiga. Dalam kaitannya dengan konteks Indonesia, kiranya akan
bermanfaat bila kita mencoba untuk memeperkirakan berapa banyak dari
peneliti psikologi di Indonesia yang sudah berada pada tahap ketiga.
Sumber: Psikologi Lintas Budaya Riset dan Aplikasi. John W. Berry.
Ype H. Poortinga. Marshall H. Segall. Pierre R. Dasen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar