Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after childhood), pendidikan sepanjang hidup (lifelong education), atau pendidikan berkesinambungan (continung education). Light et. at. (1989: 130) mengemukakan bahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakannya sosialisasi primer (primary socialization) kita menjumpai sosialisasi sekunder (secondary socialization). Berger dan Luckmann kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder mereka definisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1967: 130).
Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi (resocialization) yang didahului dengan proses desosialisasi (desocialization). Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total (total institutions):
suatu tempat tinggal dan bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal (Goffman, 1961: xiii).
Rumah tahanan, rumah sakit jiwa dan lembaga pendidikan militer merupakan contoh institusi total tersebut. Seseorang yang berubah status dari orang bebas, kemudian tahanan, dan akhirnya menjadi narapidana mula-mula mengalami desosialisasi: ia harus menanggalkan busana bebas da menggantinya dengan tahanan; berbagai kebebasan yang semula dinikmatinya dicabut; berbagai milik pribadinya disita atau disimpan oleh penjaga; namanya mungkin tidak digunakan dan diganti dengan suatu nomor. Setelah menjalani proses yang cenderung membawa dampak terhadap citra diri serta harga diri ini, ia kemudian menjalani resosialisasi—didik untuk menerima aturan dan nilai baru—untuk mempunyai diri yang sesuai dengan keinginan masyarakat (dengan alasan tersebut di Indonesia pada tahun 60-an nama penjara diubah menjadi lembaga pemasyarakatan).
Proses serupa dialami pula oleh seseorang yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ia harus menjalani desosialisasi—meninggalkan statusnya sebagai orang yang berjiwa sehat dan menerima status baru sebagai orang yang sakit jiwa—sebelum menjalani proses resosialisasi yang bertujuan mengubah mentalnya menjadi orang berjiwa sehat.
Dalam beberapa hal proses desosialisasi yang berlangsung di lembaga pendidikan kemiliteran agak mirip dengan proses di rumah tahanan. Namun dalam kasus lembaga pendidikan kemiliteran para siswa menjadi anggota secara sukarela dan dibina untuk menjalankan suatu profesi dengan tuntutan khusus, bukan dipaksa menjadi anggota untuk menjalani hukuman sambil diubah mentalnya. Oleh sebab itu meskipun para siswa lembaga pendidikan militer seperti pada akhir pendidikan mereka mempunyai diri yang positif—misalnya kebanggaan akan profesi dan mempunyai diri yang diliputi stigma, meskipun telah memperoleh pembinaan di bidang keahlian maupun mental.
Suatu bentuk desosialisasi dan resosialisasi yang banyak dibahas di kalangan ilmuwan sosial ialah praktik yang dikenal dengan nama cuci otak (brainwashing). Praktik ini dijumpai dalam tahun 50-an ditawan tentara RRT dalam perang Korea. Dengan menggunakan praktik penekanan fisik dan psikologis tertentu para tanahan mengalami resosialisasi dengan kehendak para penguasa militer yang menahan mereka. Melalui teknik pengendalian terhadap pikiran dan tahanan diarahkan untuk membuat pengakuan palsu, mengritik diri mereka sendiri dan ikut sertaa dalam kegiatan propaganda musuh (lihat. antara lain, Farber, Harlow dan West, 1956).
sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization) merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran yang baru. Dalam kajiannya terhadap kahidupan di kalangan personel militer A.S. Robert K. Merton antara lain membahas proses anticipatory socialization ini, khususnya dalam kasus kenaikan pangkat. Seorang anggota angkatan bersenjata yang mengharapkan akan naik pangkat dari bintara menjadi perwira, misalnya; seing secara mental mulai mempersiapkan diri untuk peranannya yang baru meskipun kenaikan pangkatnya belum berlangsung. Ia mulai membatasi hubungan dengan rekannya sesama bintara, dan mulai menjalani kontak dengan para perwira. Ia pun mulai mencoba menghayati gaya hidup para perwira yang dalam banyak hal berbeda dengan gaya hidup bintara. Dalam proses ini ia mungkin mulai dijauhi para bintara lain. Dengan demikian ia telah disosialisasi menjadi perwira di kala kenaikan pangkatnya tiba. Namun bila ia ternyata tidak naik pangkat, ia terpaksa harus menyesuaikan dirinya lagi dengan peranannya yang hendak ditinggalkannya. Sosialisasi antisipatoris yang mendahului perubahan status ini berulang kali kita alai dalam hidup kita—antara lain menjelang peralihan dari suatu jenjang pendidikan ke jenjang lebih tinggi (misalnya dari sekolah menengah atas ke pengurus tinggi). Dari dunia sekolah ke dunia kerja, dari dunia kerja ke kehidupan pensiunan, atau dari status selaku gadis atau bujangan menjadi suami atau istri.
Sumber: Buku Pengantar Sosiologi, edisi revisi. Kamanto Sunarto.
artikel sangat membantu utk tugas, terima kasih
BalasHapusMakasih banyak..
BalasHapusterima kasih, infonya membantu
BalasHapus