Dalam terapi eksistensial, klien
mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Di harus
aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan,
perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya.
Memutuskan untuk menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang menakutkan,
seperti ditunjukkan oleh catatan salah seorang klien yang tidak diungkapkannya selama periode terapi. Rasakan
kecemasan yang dialami oleh klien ketika dia memutuskan untuk meninggalkan
keamanan dan memulai mencari dirinya sendiri:
“Saya memulai terapi hari ini. Saya
merasa takut, tetapi tidak tahu kerena apa. Sekarang saya tahu. Pertama, saya
takut karena Jerry. Dia memiliki kekuatan untuk mengubah saya. Saya memberinya
kekuatan itu, dan saya tidak bisa kembali. Itulah yang benar-benar
membingungkan saya. Tidak ada yang sama…saya masih belum mengenal diri saya
sendiri, hanya tahu bahwa tidak ada yang sama. Saya sedih dan takut akan hal
itu. Saya cemas, keamanan akan hilang dari diri saya, dan saya takut, siapa
saya nantinya. Saya sedih tidak bisa kembali. Saya telah membuka pintu ke dalam
diri sendiri dan negeri menemukan apa yang terdapat di dalamnya, menghindari
diri yang baru, menemui dan berhubungan dengan orang-orang dengan cara yang
berbeda. Saya menduga, saya memiliki kecemasan yang mengambang tentang segala
hal, tetapi saya terutama takut terhadap diri sendiri.”
Pendek kata, klien dalam terapi
eksistensial terlibat dalam permbukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering
menakutkan, atau menyenangkan, mendepresikan, atau gabungan dari semua perasaan
tersebut. Dngan membuka pintu yang tertutup, klien mulai melonggarkan belenggu deterministic
yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikoogi. Lambat laun klien
menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekrang, serta klien lebih mampu
menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses terapi,
klien bisa mengeklorasikan alternative-alternatif guna membuat
pandangan-pandangannya menjadi riel.
Sumber: Psikologi Pendidikan , edisi
kedua. John W. Santrock, Universty of Texas-Dallas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar