KEBUTUHAN DAN LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK TUNANETRA - Kumpulan Materi
Breaking News
Loading...
Rabu, 26 Juni 2019

KEBUTUHAN DAN LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK TUNANETRA

Kumpulan Materi1. Anak tunanetra pada dasarnya membutuhkan suatu pendidikan untuk mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya secara optimal. Meskipun dengan segala keterbatasa indra pada dirinya, terutama pada indra penglihatannya, anak tunanetra membutuhkan latihan khusus yang meliputi latihan membaca dan menulis huruf braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta melakukan latihan visual atau fungsional pada penglihatan; 

2. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu suatu sistem yang secara terpisah dari anak yang masih memiliki penglihatan yang masih bagus (tidak memiliki kecacatan) dan integrasi atau terpadu dengan normal di sekolah-sekolah umum lainnya. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi meliputi sekolah khusus (SLB-A), SDL-B, dan kelas jauh. Bentuk-bentuk keterpaduan tersebut yang dapat diikuti oleh anak-anak tunanetra, yaitu melalui sistem integrasi yang meliputi kelas biasa dengan adanya seorang guru konsultan, kelas biasa dengan seorang guru kunjung, serta kelas biasa dengan guru-guru sumber dan kelas khusus; 

3. Strategi proses pembelajaran untuk anak-anak penyandang tunanetra pada dasarnya memiliki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak-anak pada umumnya, anya saja, ketika dalam pelaksanaannya memerlukan pembelajaran tersebut, yang dalam hal ini adalah anak tunanetra sehingga pesan atau materi yang disampaikan dapat diterima ataupun dapat ditangkap dengan baik dan mudah oleh anak-anak tunanetra tersebut dengan menggunakan semua sistem indranya yang masih berfungsi dengan baik sebagai sumber pemberi informasi; dan 

4. Dalam suatu pembelajaran untuk anak-anak tunanetra tersebut, terdapat beberapa prinsip yang harus untuk diperhatikan antara lain: 

a. Prinsip Individual 

Prinsip Individual dalam prinsip pembelajaran untuk anak tunanetra merupakan prinsip umum dalam pembelajaran mana pun. Dalam hal ini guru dituntut untuk dapat memerhatikan secara detail segala perbedaan-perbedaan dalam setiap individu tersebut. Dalam pendidikan untuk anak-anak tunarungu, perbedaan-perbedaan umum tersebut menjadi lebih luas dan rumit. Selain perbedaan-perbedaan umum, seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya pada anak-anak tunanetra tersebut memiliki perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraan tersebut (seperti tingkat ketunanetraan tersebut, sebab-sebab ketunanetraannya, dan lain-lainnya). Oleh sebab itu, harus ada perbedaan layanan pendidikan antara anak Low vision dan anak-anak buta lokal lainnya. Prinsip layanan individu tersebut jauh lebih mengisyaratkan pada perlunya seorang guru untuk merancang strategi dan metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan si anak tersebut. Inilah yang menjadi dasar adanya pendidikan yang dilakukan secara individu agar tidak ada terjadinya ketimpangan sosial antara anak penderita tunanetra yang satu dan lainnya yang memiliki tingkatan keparahan dan penyebab berbeda pula. Peran guru di sini memang menjadi salah satu hal utama dan pokok dalam metode pembelajaran ini dan menjaga agar anak-anak tersebut tidak merasakan kerendahan dirinya yang jusru anak-anak tersebut idak merasakan kerendahan dirinya yang justru akan menghambat kelancaran anak-anak tersebut dalam belajara. Guru dalam metode ini diharapkan dapat berperan aktif dalam pendekatan individual tersebut dengan strategi-strategi barunya untuk mendekatakan diri secara personal terhadap anak penyandang tunanetra dengan lebih intim lagi agar bisa melihat segala perbedaan yang ada dan bisa menyikapi secara tepat. 

b. Prinsip Pengalaman Pengindraan 

Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk anak-anak penyandang tunanetra harus memungkinkan anak tunanetra tersebut untuk mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajari. Dalam bahasa Bower (1986), disebut sebagai “pengalaman pengindraan langsung “. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, seperti pada contoh bunga yang sedang mekar, embun yang menetas dari dedaunan, pesawat yang sedang terbang atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk dapat meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung, dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip pengalaman pengindraan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Oleh karena itu, anak tunarungu ini harus dapat merasakan secara langsung apa yang terjadi di lingkungannya, seperti pada proses memasak, menanam bunga, ataupun pada proses lainnya yang tidak membutuhkan adanya dimensi jarak dan waktu, tetapi pada proses yang melakukan penggunaan pengalaman pengindraan secara langsung. 

c. Prinsip Totalitas 

Strategi pembelajaran ini dlakukan oleh seorang guru untuk dapat memungkinkan seorang siswanya untuk memiliki pengalaman objek secara langsung maupun pada situai yang terjadi secara utuh. Dalam strategi ini dapat terwujud apabila sang guru dapat mendorong anak tersebut untuk dapat melibatkan semua pengalaman pengindraanya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Gagasan ini juga sering disebut juga dengan multi sensory approach dalam bahasa Bower (1986), yang artinya menggunakan seluruh alat pengindraan tersebut yang masih memiliki fungsi yang masih baik untuk mengenali objek secara menyeluruh untuk dapat mengenali dengan baik dan mendapatkan gambaran secara utuh seperti apa yang ada dalam dimensi yang sesungguhnya. Misalnya saja seorang anak tunanetra yang ingin mengenali entuk burung. Maka, seorang anak yang memiliki keterbatasan dalam hal indra penglihatan tersebut harus dapat melibatkan keselutuhan indra yang masih berfungsi untuk dapat memberikan informasi yang utuh dan baik mengenai bentuk, ukuran, sifat permukaan, dan kehangatan dari burung tersebut. Anak penyandang tunanetra tersebut juga harus dapat mengenali suara yang menjadi ciri khas burung tersebut. Pengalaman pengenalan anak terhadap burung tersebut anak menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menggunakan satu indra dalam mengenali dan mengamati burung tersebut. Itulah yang menjadi nilai tambah yang akan dimiliki oleh anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam hal gangguan penglihatan. Hilangnya suatu penglihatan pada salah satu dari kelima indranya, dapat membuat anak-anak tunanetra menjadi sulit mendapatkan gambaran secara nyata dan menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak dapat diamati secara serentak oleh kelima indranya. Maka dari itu, perpaduan beberapa teknik dalam penggunaannya menjadi penting untuk anak tunanetra tersebut. 

d. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity

Dalam Sebuah strategi pembelajaran haruslah dapat memungkinkan anak atau dapat mendorong anak tunanetra dalam belajar secara aktif dan mandiri. Anak dapat belajar dan menemukan sesuatu yang ingin untuk mereka pelajari. Sedangkan, guru bertugas sebagai fasilitator yang dapat membantu anak-anak untuk belajar dan menjadikan sebagai motivator anak-anak penyandang tunanetra yang dapat membangkitkan keinginannya untuk tetap bertahan meski dalam setiap keterbatasannya. Prinsip ini juga menunjukkan bahwa dalam prosess belajar itu tidak hanya sekedar mendengar dan mencatat saja, tetapi juga ikut merasakan dan mengalaminya secara langsung. Keharusan ini memiliki implikasi yang bagus terhadap perlunya si anak untuk dapat mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep yang baik. Dalam hal isi pembelajaran, sangat penting untuk anak-anak tersebut. Akan tetapi, akan lebih penting lagi apabila anak tersebut dapat menguasai dan mengalami secara personal dan langsung untuk mendapatkan isi pembelajaran dengan cara mengalami dan mengenal suatu objek secara langsung dapat membantu anak untuk dapat mengenali apa yang selama ini anak-anak nomal lainnya alami. 

Menurut fungsinya, suatu metode pembelajaran tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa media, yaitu media untuk menjelaskan konsep yang berupa alat peraga dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran yang berupa alat untuk proses pembelajaran. 
  • Alat bantu yang bisa digunakan untuk membantu proses suatu pembelajaran anak tunanetra meliputi objek atau situasi yang sebenarnya dengan cara prinsip totalitas atau situasi yang sebenarnya, benda asli yang telah diawetkan, tiruan/model (tiga dan dua dimensi); dan 
  • Alat bantu pembelajaran antara lain alat bantu untuk menulis huruf braille (reglet, pen, dan mesin ketik braille), alat bantu untuk membantu dalam membaca huruf braille (papan huruf dan optacon), alat bantu untuk berhitung (cubaritma, abacus/sempoa, speech calculator), serta alat bantu yang bersifat audio, seperti tape recorder

Evaluai terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak yang memiliki mata normal, namun ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diajukan kepada anak tunanetra tidak mengandung unsur—unsur yang memerlukan persepsi visual apabila menggunakan tes tertulis, soal hendaknya diberikan dalam huruf braille atau menggunakan reader (pembaca) apabila menggunakan huruf alfabet normal yang biasanya digunakan oleh anak-anak bermata normal. 









Sumber: Smart A. (2010). Anak cacat bukan kiamat: metode pembelajaran & terapi untuk anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Katahati. (Hal 82-89)

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Toggle Footer