Dedi Supriadi (1994) telah
melakukan penelitian tentang peubah pribadi dan lingkungan keluarga para
finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja
(LPIR).
LKIR diselenggarakan setiap tahun
sejak tahun 1969 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI) bekerja sama
dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan LPIR diselenggarakan setiap
tahun sejak 1977 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Keduanya bersifat nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang lingkungan keluarga
dan pribadi finalis LKIR dan LPIR. Responden penelitian terdiri atas 125
finalis LKIR dan LPIR tahun 1986 dan 1987, yaitu 91% dari 138 finalis kedua
lomba itu yang memberikan respons terhadap instrumen penelitian yang dikirimkan
melalui pos ke alamat rumah atau sekolah mereka. Sebagai pembanding dipilih 120
siswa kelas III SMA Negeri yang prestasi akademik para siswanya termasuk
menonjol.
Mengutip Dedi Supriadi (1994),
hasil studi ini menemukan bahwa sebagian besar finalis LKIR dan LPIR adalah
laki – laki, anak pertama dan kedua, mempunyai orangtua berpendidikan dan
berpenghasilan baik, menempuh pendidikannya di kota, berasal dari keluarga
dengan iklim kehidupan yang baik, dan memiliki pengalaman bermakna yang kaya
dalam hidupnya. Secara umum, mereka memiliki latar belakang kehidupan dan
lingkungan yang lebih unggul daripada kelompok pembanding.
Proporsi yang dominasi dari laki
– laki di antara finalis ditafsirkan oleh Dedi Supriadi bahwa jenis kelamin
merupakan faktor penting dalam kreativitas keilmuwan, dan bahwa dominasi laki –
laki agaknya disebabkan oleh karena tantangan yang ditawarkan oleh penelitian
keilmuwan “lebih sesuai untuk laki – laki”. Namun, tidak dikemukakan oleh
peneliti bahwa faktor sosial budaya mungkin berpengaruh terhadap kurang
tampilnya perempuan sebagai finalis, termasuk tekanan dan harapan dari
orangtua, sekolah, dan teman sebaya. Monks dalam teorinya Multi – Faktor
tentang Keberbakatan menekankan bahwa lingkungan keluarga, sekolah, dan teman
sebaya mempunyai peranan menentukan dalam perkembangan keberbakatan. Di samping
itu perlu dipertimbangkan faktor internal seperti fear of success dan Cinderella
complex yang menyebabkan cukup banyak perempuan berbakat menjadi underachiever, yang akan dibahas lebih
lanjut pada Bab 11.
Mengenai tingkat pendidikan
orangtua ditemukan Dedi Supriadi bahwa khususnya tingkat pendidikan ayah
berkaitan dengan ragam pengalaman peran ayah dalam mendorong anaknya untuk
memperoleh pengalaman bermakna erat kaitannya dengan fungsi ayah sebagai figur
sentral dalam keluarga. hal ini menarik jika dibandingkan dengan kecenderungan
yang menemparkan peran ibu lebih menonjol dalam menciptakan iklim kehidupan
keluarga yang berkualitas. Jadi, sementara ayah lebih banyak mendorong anaknya
“ke luar” untuk memperkaya pengalaman, ibu lebih banyak berperan “kedalam”
dalam memeliharanya kehidupan keluarga.” (1994 : 150).
Jika dibandingkan dengan
penelitian Utami Munandar di atas yang menemukan bahwa tingkat pendidikan ibu
lebih berkaitan dengan prestasi sekolah dan kreativitas anak daripada tingkat
pendidikan ayah, tampaknya hal ini berkaitan dengan penelitian Utami Munandar
yang menyangkut siswa pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), sedangkan
penelitian Dedi Supriadi adalah terhadap finalis LKIR dan LPIR yang rata – rata
berpendidikan menengah dan perguruan tinggi yang sudah lebih memerlukan
pengayaan pengalaman belajar di luar, sementara ibu lebih berperan dalam
mendampingi anak belajar di luar, sementara ibu maupun peranan ayah amat
penting dalam memupuh dan meningkatkan kreativitas dan bakat anak.
Sumber: Kreativitas &
Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Prof Dr. S.C.
Utami Munandar. (Hal. 123 – 124)
0 komentar:
Posting Komentar