Senin, 17 Desember 2012

PENILAIAN PRESTASI KERJA DI MASA LALU

Baik para teoritisi yang mengembangkan teori manajemen sumber daya manusia maupun praktisi yang menerapkannya dalam praktek sama – sama berpendapat bahwa penilaian prestasi kerja para pegawai merupakan aspek yang sangat penting dari manajemen sumber daya manusia. Pandangan demikianlah yang mendorong mereka untuk menciptakan berbagai metode dan teknik penilaian dimaksud. Secara teoretikal, berbagai metode dan teknik tersebut mempunyai sasaran yang sama, yaitu menilai prestasi kerja para pegawai secara obyektif untuk satu kurun waktu tertentu di masa lalu yang hasilnya bermnfaat baik bagi organisasi seperti untuk kepentingan mutasi pegawai maupun bagi pegawai yang bersangkutan sendiri dalam rangka pengembangan kariernya. 

Untuk mencapai kedua sasaran utama tersebut, pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai metode penilaian itu menjadi sangat penting. Harus ditekankan bahwa pemahaman tersebut menyangkut baik kebaikan maupun kekurangannya karena seperti telah dimaklumi tidak ada satu pun metode yang hanya memiliki kebaikan atau kekuatan dan bebas dari kekurangan atau kelemahan. 

Berbagai metode yang dewasa ini dikenal dan banyak digunakan adalah sebagai berikut. 

Pertama: Metode “skala peringkat”. Sepanjang diketahui metode ini merupakan metode tertua dan peling banyak digunakan dalam menilai prestasi kerja para pegawai di masa lalu meskipun diakui bahwa metode ini sesungguhnya bersifat subyektif. Cara penggunaannya adalah: 

  1. Pada lembaran penilaian terhadap kolom yang berisikan faktor – faktor yang dinilai. Jumlah dan jenis pekerjaan lain, tergantung pada segi – segi pekerjaan apa yang dipandang kritikal dalam mengukur keberhasilan seseorang menunaikan kewajibannya, seperti kesetiaan, prakarsa, kerajinan, ketekunan, sikap, kerja sama, kepemimpinan, kejujuran, ketelitian, kecermatan dan kerapian. 
  2. Pada kolom lain dari lembaran penilaian itu terdapat ketegori penilaian yang diisi oleh penilai. Ketegori tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk amat baik, baik, cukup, kurang dan sangat kurang. cara lain ialah dengan memberikan angka, misalnya: 
    • 90 – 100 untuk amat baik, 

    • 80 – 89 untuk baik, 

    • 70 – 79 untuk cukup, 

    • 60 – 69 untuk kurang, 

    • 0 – 59 untuk sangat kurang. 

Metode ini sangat populer dan banyak digunakan antara lain kerena mudah mempersiapkannya, tidak sulit menggunakan dalam arti para penilai biasanya tidak mengalami kesukaran untuk mengisinya serta dapat digunakan untuk menilai banyak pegawai sekaligus. 

Akan tetapi meskipun demikian, metode ini tidak luput dari kelemahan. Kelemahan yang utama terletak pada subyektivitas penilai. Tambahan pula apabila cara yang kualitatif semata yang digunakan, nilai yang diberikan masih dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda – beda pula. Kelemahan lain terletak pada kenyataan bahwa faktor – faktor yang dinilai belum tentu berkaitan langsung dengan tugas pekerjaan seseorang. 

Kedua: Metode lain yang juga sering digunakan dalam menilai prestasi kerja di masa lalu ialah penggunaan “checklist”. Dengan metode ini bagian kepegawaian mempersiapkan folmulir isian yang mengandung: 

  1. Nama pegawai yang dinilai. 
  2. Bagian di mana pegawai bekerja. 
  3. Nama dan jabatan penilai. 
  4. Tanggal penilaian dilakukan. 
  5. Faktor – faktor yang dinilai dengan sorotan perhatian terutama ditujukan pada aspek – aspek kritikal dalam mengukur keberhasilan seseorang menyelesaikan tugas. 

Yang menarik ialah bahwa dalam “checklist” yang dipersiapkan, segi – segi penyelesaian tugas sifanya kritikal tersebut dalam banyak hal serupa dengan faktor – faktor keberhasilan yang dinilai dengan menggunakan berbagai teknik lainnya. Hal ini tentunya tidak mengherankan karena metode apapun yang digunakan yang dinilai adalah prestasi kerja pegawai di masa lalu. 

Yang membedakan metode ini dari berbagai metodee lainnya yang sekaligus merupakan kekuatannya ialah bahwa faktor – faktor yang dinilai diberi bobot tertentu. Bobot untuk berbagai faktor berbeda dari satu jenis pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Pembobotan demikian dipandang sebagai kelebihan metode ini karena dengan sistem pembobotan itu penilaian benar – benar terkait dengan tugas pekerjaan seseorang. Misalnya bobot bagi faktor kepemimpinan tinggi bagi seorang yang menduduki jabatan bagi faktor kepemimpinan tinggi bagi seorang yang menduduki jabatan manajerial. Sebaliknya, bobot kepemimpinan rendah atau bahkan mungkin tidak dinilai sama sekali bagi seseorang pekerja yang melaksanakan kegiatan operasional dan tidak punya bawahan sama sekali. 

Akan tetapi dalam pada itu perlu diperhatikan bahwa metode ini pun tidak bebas dari berbagai kelemahan seperti kecenderungan penilaian yang bersifat subyektif, interprestasi yang tidak tepat tentang faktor yang dinilai dan cara pembobotan yang kurang tepat. 

Ketiga: metode pilihan terarah. Metode ini mengandung serangkaian pernyataan, baik yang bersifat positif maupun yang negatif, tentang pegawai yang dinilai. Pernyataan tersebut menyangkut berbagai faktor seperti kemampuan belajar, prestasi kerja, hubungan kerja dan berbagai faktor lainnya yang biasanya menggambarkan sikap dan perilaku yang bersangkutan. 

Berbagai pernyataan tersebut dapat “bernada” positif akan tetapi dapat pula “bernada” negatif. Hal ini logis karena metode ini memang di maksudkan terutama untuk mengukur prestasi kerja. 

Dalam penggunaannya, berbagai pernyataan tersebut disusun “berpasangan” seperti: 

  1. Kemampuan belajar dengan cepat berpasangan dengan kerja keras. 
  2. Hasil pekerjaan yang memuaskan berpasangan dengan prestasi kerja yang dapat menjadi contoh bagi pekerja lain. 
  3. Mampu bekerja dalam tim berpasangan dengan senang bergaul. 

Berbagai pernyataan negatif yang dibuat berpasangan, misalnya: 

  1. Sering mangkir berpasangan dengan sering terlambat. 
  2. Tidak tanggap berpasangan dengan menunjukkan kecenderungan malas. 

Sudah barang tentu jumlah pernyataan itu tergantung pada banyak hal seperti segi – segi sikap dan keperilakuan apa yang dianggap penting untuk dinilai, jenis pekerjaan, jumlah pegawai yang dinilai dan lain sebagainya. 

Penilai harus memilih “pasangan” pernyataan yang menurut pendapatnya paling menggambarkan sikap, perilaku dan kemampuan pegawai yang diniali. Bagian kepegawaianlah yang kemudian mengklasidikasikan berbagai pernyataan tersebut untuk digunakan dalam membantu pegawai yang bersangkutan dalam menentukan tindakan perbaikan apa yang perlu dilakukannya. 

Keempat: metode insiden kritikal. Yang dimaksud dengan “insiden kritikal” ialah peristiwa tertentu yang terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas seorang pegawai yang menggambarkan perilaku pegawai yang bersangkutan, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Agar metode ini bermanfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, penilai harus secara kontinu mencatat berbagai insiden yang terjadi. Akan tetapi kenyataan dan pengalman mestinya melakukan pencatatan. Biasanya yang terjadi ialah bahwa buku catatan yang sengaja di sediakan untuk mencatat berbagia peristiwa itu baru diisi oleh penilai apabila masa penilaian sudah dekat atau sudah tiba. Tindakan penilai yang demikianlah yang sering dianggap sebagai titik lemah metode ini karena: 

  1. Hanya insiden yang baru terjadi saja yang tercatat dengan rapi dan lengkap kerena masih segar dalam ingatan penilai yang bersangkutan. 
  2. Apabila perilaku negatif yang banyak tercatat, para pegawai akan merasa dirugikan yang pada akhirnya dapat menimbulkan persepsi bahwa penilai tidak sudi melupakan peristiwa negatif tertentu meskipun sudah lama terjadi. 

Sekedar sebagai contoh, berikut ini dipaparkan penggunaan metode ini. Bagian kepegawai secara berkala mengirimkan formulir isian kepada para penilai. Pada penilai diminta untuk mencatat berbagai insiden perilaku pegawai tertentu, baik yang sangat positif maupun yang sangat negatif. Dalam formulir isian tersebut tercantum nama pegawai yang dinilai, satuan kerjanya, nama dan jabatan penilai dan jangka waktu yang dicakup oleh catatan yang dibuat. Dalam catatan insiden kritikal itu juga tergambar kategori kegiatan serta perilaku pegawai yang dinilai. 

Kunci keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada ketekunan dan ketelitian pada pejabat penilai untuk mencatat semua insiden kritikal yang relevan secara kontinu karena hanya dengan demikian obyektivitas dalam penilaian dapat diwujudkan. 

Kelima: Skala peringkat yang dikaitkan dengan perilaku. Dari namanya terlihat bahwa metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja pegawai untuk satu kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat prestasi kerja dengan subyektivitas dalam penilaian. Deskripsi prestasi kerja, yang baik maupun yang kurang memuaskan, dibuat oleh pekerja sendiri, rekan sekerja dan atasan langsung masing – masing. Deskripsi demikian memungkinkan bagian kepegawaian menyusun berbagai kategori perilaku pegawai dikaitkan dengan prestasi kerja. 

Penggunaan metode ini menuntut diambilnya tiga langkah, yaitu: 
  1. Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja, misalnya sebagai sangat memuaskan , memuaskan, cukup, memuaskan, akseptabel, kurang memuaskan, tidak memuaskan, sangat tidak memuaskan. 
  2. Menentukan kategori prestasi kerja seseorang untuk dikaitkan dengan skala peringkat tersebut di atas. 
  3. Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku pegawai yang dinilai terlihat dengan jelas. 

Keenam: Metode evaluasi laparangan. Telah dimaklumi bahwa penilaian yang seobyektif mungkin dalam mengukur prestasi kerja pegawai perlu diusahakan. Berarti subyektivitas penilai harus dihilangkan, paling sedikit dikurangi hingga seminimal mungkin. Di samping itu diperlukan teknik penilaian yang baku karena hasil penilaian prestasi kerja seorang pegawai harus dapat dibandingkan dengan hasil penilaian prestasi kerja pegawai lain sepanjang hal itu dapat dilakukan, misalnya karena faktor – faktor kritikal yang di nilai sama. Salah satu cara untuk menjamin hal itu terjadi ialah dengan menggunakan metode evaluasi lapangan. Penggunaan metode ini meletakkan tanggung jawab utama dalam melakukan penilaian pada para hali penilaian yang bertugas di bagian kepegawaian. Artinya ahli penilaian yang bertugas dalam melakukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai. Hasil penilaian yang dilakukaan kemudian disampingkan kepada dua pihak, yaitu kepada atasa langsung pegawai yang dinilai untuk diteliti, diubah atau disetujui dan kepada pegawai yang bersangkutan sendiri untuk dibicarakan, baik yang menyangkut segi – segi penilaian yang bersifat kepada pegawai yang dinilai tentang langkah – langkah apa yang diambilnya dalam rangka pengembangan karier. Langkah tersebut dapat berupa peningkatan prestasi kerja yang sudah baik, akan tetapi dapat pula pengambilan langkah mengatasi kelemahan yang terdapat dalam diri pegawai tersebut. Yang dipandang sebagai kelebihan metode ini adalah bahwa obyektivitas lebih terjamin karena penilaian dilakukan oleh para ahli penilaian dan juga karena tidak terpengaruh oleh “halo effect” yang telah disinggung di muka. Dalam para itu kelemahan metode ini perlu dipahami pula. Kelemahan tersebut pada dua hal, yaitu: 

  1. Penilai, meskipun seorang ahli, tetap tidak bebas dari “bias” tertentu. 
  2. Bagi organisasi besar menjadi mahal karena harus mendatangkan ahli penilai ke tempat pelaksanaan tugas. 

Ketujuh: tes dan observasi. Untuk jenis – jenis pekerjaan tertentu penilaian dapat berupa tes dan observasi. Artinya, pegawai yang dinilai diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian praktek yang langsung diamati oleh penilai. 

Misalnya, seorang sekretaris diharuskan mengikuti ujian tertulis yang menguji pengetahuannya tentang tugas, wewengan dan tanggung jawabnya sebagai sekretaris. Setelah menempuh ujian tertulis, sekretaris yang bersangkutan dites kemampuannya mengerjakan berbagai hal seperti mengetik, menulis dengan cepat atau steno, menggunakan telepon, menggunakan komputer dan praktek – praktek kesekretariatan lainnya yang dipandang relevan. 

Contoh lain adalah tes dan observasi yang diberlakukan bagi para penerbang perusahaan penerbangan komersial. Di Amerika Serikat, misalnya, semua penerbang dari semua perusahaan penerbangan komersil di tes oleh para penilai dari badang penerbangan federal. Penilaian baiasanya dilakukan baik di ruang simulasi di mana diamati sampai sejauh mana penerbangan di tes menaati ketentuan – ketentuan penerbangan yang aman maupun praktek terbang yang sesungguhnya. Hasil observasi itulah yang menjadi dasar memberikan nilai tertentu bagi penerbang yang bersangkutan. 

Kebaikan metode ini teletak pada keterkaitan langsung antara prestasi kerja dengan tugas pekerjaan seseorang. Kebaikan lainnya ialah bahwa prinsip standardisasi dapat dipegang teguh. Hanya saja metode ini memerlukan biaya yang tidak sedikit bukan hanya dalam penyediaan alat tes seperti simulato yang diperlukan, akan tetapi juga untuk mendatangkan penilai dari luar organisasi. Mungkin ada yang berpendapat bahwa biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan tes dan observasi ini tidak sebesar yang diduga banyak orang karena alat – alat yang diperlukan untuk menyelenggarakan tes, seperti mesin tik, komputer, dan telepon bagi sekretaris dan ruang simulator bagi penerbang memang sudah tersedia. Pandangan ini ada benarnya, meskipun biaya ekstra untuk mendatangkan para ahli penilai tetap tidak terelakkan dan oleh karenanya harus diperhitungkan. 

Kedelapan, pendekatan – pendekatan yang bersifat komparatif. Dari namanya saja sudah terlibat bahwa metode ini mengutamakan pembandingan prestasi kerja seorang dengan pegawai lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Perbangdingan demikian di pandang bermanfaat untuk manajemen sumber daya manusia dengan lebih rasional dan efektif, khususnya dalam hal kenaikan gaji atau upah, promosi dan pemberian berbagai bentuk imbalan kepada pegawai. Alasannya ialah bahwa dengan perbandingan tersebut, dapat disusun peringkat pegawai dilihat dari sudut prestasi kerjanya. 

Tiga metode yang biasa digunakan, dari sekian banyak metode dalam penerapan pendekatan komparatif adalah sebagai berikut: 

  1. Metode peringkat. Menggunakan metode ini berarti bahwa seorang atau beberapa penilai menentukan peringkat bagi sepuluh pegawai, mulai dari yang paling berprestasi hingga kepada yang paling tidak berprestasi. Kelebihan metode ini ialah bahwa segera terlihat klasifikasi para pegawai yang dinilai ditinjau dari sudut pandangan prestasi kerjanya. Akan tetapi metode ini mempunyai dua kelemahan utama. Kelemahan yang pertama ialah bahwa peringkat yang dibuat tidak memberikan gambaran yang jelas tentang makana peringkat tersebut. Misalnya, tidak tergambar dengan jelas apakah pegawai yang menduduki peringkat kedua hampir beda jauh dalam kemampuan kerjanya. Yang tergambar hanyalah bahwa pegawai yang menduduki peringkat pertama “lebih baik” dari pegawai yang menduduki peringkat kedua. Demikian seterusnya pada peringkat – peringkat lain. Kelemahan kedua terletak pada kenyataan bahwa sumbektivitas penilai sulit dihindari yang seperti telah dikemuakakn di atas, dapat didasarkan pada perasaan suka dan tidak suka karena perilaku pegawai tertentu, positif atau negatif, yang karena baru saja terjadi masih segar dalam ingatan penilai. Metode ini sering digunakan karena kelemahan di atas biasanya teratasi dengan menunjukkan beberapa orang penilai yang terdiri dari para petugas dari bagian kepegawaian, atasan langsung dan rekan sekerja pegawai yang dinilai sehingga kalau pun ada yang memberikan penilai yang subyektif, hal itu dapat “diluruskan” oleh penilai oleh orang lain yang turut terlibat yang nampak obyektif. Artinya, semua hasil penilai oleh beberapa orang yang turut memberikan penilaian itu dijumlah dan diambil rata – ratanya sehingga dengan demikian diharapkan penilai menjadi obyektif. 
  2. Distribusi Terkendali. Yang dimaksud dengan distribusi terkendali ialah suatu metode penilaian melalui mana para penilai menggolongkan sejumlah pagawai yang dinilai ke dalam klasifikasi yang berbeda – beda berdasarkan berbagai faktor kritikal yang berlainan pula seperti kerja, ketaatan, disiplin pengendalian biaya dan lain sebagainya. Penggolongan dimaksud kemudian dinyatakan dalam persentasi kerjanya sebagai keseluruhan penggolongan. Sebagaimana halnya dengan metode peringkat, kelemahan metode ini terletak pada tidak jelasnya perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Sebaliknya, kebaikan metode ini ialah tersedianya berbagai klasifikasi sehingga kecenderungan menyamaratakan prestasi kerja pegawai yang dinilai, sikap penilai yang terdahulu “lemah” atau terlalu “karya” dapat dihindari. 
  3. Metode Alokas Angka Jika penilai menggunakan metode ini yang terjadi ialah bahwa para penilai memberi nilai dalam bentuk angka kepada semua pegawai yang dinilai. Pegawai yang mendapat angkat tertinggi berarti dipandang sebagai pegawai “terbaik” dan pegawai yang mendapat angka paling rendah merupakan pegawai yang dinilai paling tidak mampu bekerja. Jumlah nilai bagi semua pegawai ditentukan oleh bagian kepegawaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar