Masalah dimensional kreativitas
dan inteligensi dalam pendidikan adalah masalah peranan aktivitas dan
inteligensi dalam prestasi di sekolah. Makin banyak peneliti yang menyibukkkan
diri dengan masalah tersebut dan bagaimana implikasinya terhadap pendidikan.
Torrance (1959), Getzels dan
Jackson (1962), Yamamoto (1964)berdasarkan pada studi masing – masing sampai
pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa kelompok siswa yang kreativitasnya
tinggi tidak berada dalam prestasi sekolah dari kelompok siswa yang
inteligensinya relatif lebih tinggi. Torrance mengajukan hipotesis bahwa daya
imajinasi, rasa ingin tahu, dan orisinalitas dari subjek yang kreativitasnya
tinggi dapat mengimbangi hipotesis bahwa daya imajinasi, rasa ingin tahu, dan
orisinalitas dari subjek yang kreativitasnya tinggi dapat mengimbangi
kekurangan kekuatan dalam daya ingatan dan faktor – faktor lain yang diukur
oleh tes inteligensi tradisional. Penelitian Utama Munandar (1977) terhadap siswa
SD dan SMP menunjukkan bahwa kreativitas sama absahnya seperti inteligensi
sebagai prediktor prestasi sekolah. Jika efek inteligensi dieliminasi, hubungan
antara kreativitas dan prestasi sekolah tetap dieliminasi, hubungan antara
kreativitas dan prestasi sekolah tetap subtansial. Adapun kombinasi dari
inteligensi dan kreativitas lebih efektif lagi sebagai prediktor prestasi
seklah daripada masing - masing ukuran sendiri. Implikasinya terhadap
pendidikan adalah bahwa untuk tujuan seleksi dan identifikasi bakat sebaiknya
menggunakan kombinasi dari tes inteligensi dan tes kreativitas.
Milgram (1990) menekankan bahwa
inteligensi atau IQ semata – mata tidak dapat meramalkan kreativitas dalam
kehidupan nyata. Demikian pula tes kreativitas sendiri.
Menurut Cropley (1994) true giftedness (keberbakatan sejati)
merupakan gabungan antara kemampuan konvensional (ingatan baik, berpikir logis,
pengetahuan faktual, kecermatan, dan sebagainya) dan kemampuan kreatif
(menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang
tidak diduga, memiliki keberanian untuk mecoba sesuatu yang tidak lazim, dan
sebagainya).
Lepas dari soal menjelaskan
hubungan antara inteligensi dan kreativitas serta kemungkinan
penggunaannya sebagai peramal
(prediktor) dari keberhasilan di sekolah, studi – studi semacam ini sekaligus
memberikan informasi mengenai kualitas sistem pendidikan. Dengan mengetahui
hubungan antara kreativitas, inteligensi dan ingatan dengan prestasi belajar
serta bagaimana sumbangan relatif masing
– masing terhadap keberhasilan di
sekolah, kita dapat menarik kesimpulan mengenai corak dan tujuan sistem
pendidikan tersebut, inilah yang disebut diagnostik
terbaik (inverted diagnostics) oleh Hofstee (1969). Dalam hal ini hubungan
antara tes (kreativitas, inteligensi, dan ingatan) dan kriteria (prestasi
sekolah) menginformasikan kualitas sistem pendidikan. Jika misalnya pada suatu
sekolah prestasi belajar berkorelasi paling tinggi dengan tes ingatan daripada
dengan tes inteligensi atau tes kreativitas, ini tidak berarti bahwa tes
ingatan merupakan peramal yang paling baik bagi prestasi sekolah, tetapi bahwa
agaknya pada sekolah tersebut ingatan mempunyai nilai yang lebih tinggi
daripada inteligensi dan kreativitas. Oleh karena itu, baik dalam assessment siswa maupun penilaian sistem pendidikan sebaiknya digunakan berbagai tes yang mempunyai arti psikologis yang
bermakna dan yang cukup beragam, sehingga memberikan gambaran yang lebih
lengkap mengenai sejauh mana sasaran pendidikan tercapai dan mengenai kualitas
sistem pendidikan.
Perlu dicatat bahwa akhir – akhir
ini di Indonesia tampak peningkatan penggunaan tes kreativitas baik dalam
bidang pendidikan untuk seleksi penerimaan siswa, calon mahasiswa dan calon
guru maupun dalam perusahaan - seleksi
karyawan, staf, dan manajer.
Sumber: THEORIES OF LEARNING
(Teori Belajar), Edisi Ketujuh. B. R. Hergenhahn. Mattahew H. Olson. (Hal. 10 –
11).
0 komentar:
Posting Komentar