Senin, 06 Mei 2013

BUDAYA DAN INDERA MANUSIA


Budaya dan Indra Auditori
Meskipun penelitian pada persepsi visual tampak paling diminati, penelitian – penelitian mengenai kemampuan indera manusia yang lainnya tidak begitu saja ditinggalkan para psikolog lintas budaya. Salah satunya adalah Oliver (1934, dalam Berry, 1999) yang mengungkapkan kemampuan musical manusia dengan menggunakan Tes Seashone. Dalam penelitiannya  ia menemukan bahwa mahasiswa Afrika Barat, dibandingkan dengan mahasiswa Amerika, memperoleh skor yang lebih tinggi untuk diskriminasi (membedakan) kekerasan suara, diskriminasi durasi nada, dan identifikasi ritme, namun rendah dalam skor diskriminasi pola titi nada, diskriminasi warna suara (timbre), dan memori nada (tonal memory).

Reuning dan Wortley (1973, dalam Berry, 1999) juga melakukan penelitian mengenai kemampuan auditory manusia Kalahari. Mereka melaporkan bahwa orang – orang gurun Kalahari memiliki ketajaman pendengaran yang lebih baik dibandingkan sampel dari Amerika dan Denmark. Selain karena pola makan, mereka menduga kemampuan ini lebih disebabkan intonasi suara pada bahasa Kalahari yang rendah dengan suara penuh (ambient noise) sehingga menjadi orang – orang Kalahari memaksimalkan ambang batas kemampuan pengengarannya.

Budaya dan Indra Perasa (pengecap)
Beberapa penelitian juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan manusia antar budaya dalam kemampuan mengecap. Kalmus (1969) dan Doty (1984, dalam Berry, 1999) melaporkan kekurangmampuan orang – orang Kaukasia untuk mengecap substansi yang mengandung PTC (phenilthiocarbarmide). Sekitar 30% orang Kaukasia dikatakan buta kecap (lidah) karena kebiasaan mengecap substansi – substansi yang lebih besar ketimbang substansi yang biasa dikecap orang – orang non Kaukasia.

Budaya dan Persepsi Warna
Sejarah penelitian lintas budaya pada persepsi warna dimulai dari tulisan William Gladstone pada pertengahan abad Sembilan belas. Ia menaruh perhatian pada keanehan – keanehan puisi klasik Homer, seperti ketiadaan kata untuk warna cokelat dan abu – abu, dimana ia menduga adanya perbedaan kata untuk warna cokelat dan abu – abu dimana ia menduga adanya perbedaan kemampuan kelihatan warna dari orang – orang Yunani kuno.

Magnus (1980, dalam Berry, 1999) member arahan dalam melakukan kajian persepsi warna terkait dengan variasi budaya ini. Ia mempercayai bahwa persepsi mengenai warna dari suatu budaya dapat ditelusuri dari labelisasi dan kekayaan kosakata warna pada bahasa dari budaya tersebut. Rivees (1901) mengangkat kajian tentang penglihatan warna dan penamaan warna dalam ekspedisi Torres Strait. Ia menemukan adanya kebingungan pada orang – orang dari suku ini dalam membedakan antara warna hijau dengan biru dan biru muda. Namun demikian orang – orang ini lebih mudah mendeteksi warna merah muda dan merah, dengan mengambil ambang respon (batas waktu respon) orang – orang Eropa sebagai patokan.


Sumber: Psikologi Lintas Budaya. Tria Dayakisni. Salis Yuniardi (Hal. 103)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar