Budaya, Kategorisasi dan Pembentukan Konsep
Salah satu proses dasar kognisi
adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan
umumnya atas dasar persamaan dan
perbedaan karakter dari obyek – obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek
juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika
kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam – macam buku mulai dari
buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak – anak.
Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari
fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke
dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk
sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun
atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
Seperti contoh kertas tadi,
beberapa konsep psikologi juga berlangsung universal dalam kategorisasi.
Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan masalah kategorisasi
warna – warna apa yang digolongkan warna – warna apa yang digolongkan warna
primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah budaya tersebut
memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya dua kosakata
seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata warna gelap dan warna terang – ternyata tetap mampu
melakukan penggolongan warna – warna dan diminta untuk menunjukkan kembali
ternyata bias. Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan
adalah warna sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna
es (warna putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi
individu yang tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang
ditunjukkan adalah warna sekunder dari putih.
Orang dengan latar budaya manapun
juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk – bentuk dasarnya, semacam, segitiga
sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal ini berbeda ketika kategorisasi
dilakukan terhadap bentuk – bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan
dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi
pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi stimulus dasar tertentu, dalam
hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna, dan ekspresi muka
(Berry, 1999).
Namun demikian, beberapa
penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh pada perbedaan
proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang dibuktikan pada
perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang disebut
kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun terbuat dari apa yang
biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu tampaknya perbedaan
budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi umumnya terbuat
dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi. Namun demikian
, kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin saja tidak
dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk lain dari
tempat tidur.
Percobaan menarik dilakukan oleh
Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966) yang mendukung hipotesa
adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh kognititif manusia. Pada
para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang dan beberapa lagi adalah
gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi beberapa lagi
adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi
terhadap gambar – gambar tersebut atas dasar perbedaan warna. Hal ini
menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada sesuatu yang lebih
dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya
perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas yang mempengaruhi
sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan kematangan yang
mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas
budaya tersebut.
Sejauh ini perbedaan di atas
diasumsikan terhadi sebagai pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall
(1969, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan
orang dewasa penduduk setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki
pendidikan yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan.
Hasilnya ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield,
antara responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak
– anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar
kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak –
anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak –
anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak –
anak melakukan kategorisasi atas dasar
yang lebih kompleks.
Perbedaan Budaya dalam Memori
Anugerah Tuhan yang begitu besar
pada manusia barangkali salah satunya adalah memori. Dengan memiliki memori,
manusia bias mengingat pengetahuan yang telah diperolehnya sehingga bias
membangun peradabannya, mengingat nama teman yang telah bertahun – tahun tidak
bertemu lengkap dengan tahi lalat didagunya dan juga tempat serta peristiwa
dimana pertama kali bertemu kekasih hati. Tetapi kadangkala kita juga merasa
aneh ketika lupa dimana menaruh kunci mobil yang baru sekitar beberapa menit
lalu masih kita pegang, atau lupa jawaban ujian yang sebenarnya tidak lebih
sepuluh menit lalu kit abaca dan kita masih ingat halamannya.
Memoti sendiri adalah sebuah
proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding), penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasar jangka
waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan
informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil
kembali (Feldman, 1999).
Masalah memori ini menjaid
menantang ketika dikaitkan dengan perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda
mempengaruhi kemampuan, cara, serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang
berbeda mempengaruhi kemampuan memori yang lebih baik daripada masyarakat yang
sudah memiliki budaya baca tulis (literate) karena mereka terbiasa harus
mengingat segala informasi yang ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah
sebaliknya? Benarkah masyarakat yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah
memorinya karena terbiasa menggunakan bantuan catatan dalam melakukan
pengingatan?
Ross dan Millison (1970, dalam
Matsumoto, 1996) menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam
kemampuan daya ingat. Mereka mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil
penelitiannya yang membandingkan daya ingat pelajar Amerika dengan menemukan
bahwa secara umum remaja Ghania mengingat isi cerita lebih baik daripada
pelajar Amerika. Namun Cole (1971, dalam Matsumoto, 1996) menemukan bahwa
sekalipun masyarakat non-literate mengingat isi cerita lebih baik namun mereka
memiliki kemampuan yang lebih lemah dalam mengingat daftar kata.
Cole selanjutnya membangun asumsi
bahwa mengingat informasi – informasi yang saling tidak terkait merupakan hal
yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak
bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid
terbiasa untuk mengingat huruf –huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus
– rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol – simbol abstrak
(tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan
huruf – huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto,
1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang
berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya
ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang
mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya
dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden
Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah.
Salah satu aspek memori yang
paling dikenal adalah apa yang disebut Serial
Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih
baik adalah bagian pertama yang kit abaca(primacy
effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya,
Cole dan Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan
anatara serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya
pada masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980, dalam matsumoto,
1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strategi
memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak
Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan
bahwa primacy effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak – anak yang
mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam,
yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (the basic limitation of memory) yang tidak berubah dalam lintas
budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak (lihat Bab Vi), dan Software
atau bahasa pemrograman – pemrograman bagian kita mengingat sesuatu kemampuan
ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah peran pendidikan dan budaya
berpengaruh.
Budaya dan Problem Solving
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang
benar dari alternative – alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada
satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan
bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan factor pendidikan dan pengalaman
termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog
telah mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan meminta
individu – individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan –
permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan sehari – hari mereka.
Salah satu penelitian yang
mencoba memahami perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang
dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang – orang dari Amerika dan
Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki
beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot).
Untuk dapaat membuka piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya,
para subyek harus melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu
menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua adalah
memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka
sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun
ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan sangat mudah.
Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar belakang
pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah
yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah
orang – orang Amerika memiliki kemampuan problem
solving yang lebih baik dibandingkan orang Liberia utamanya dalam berpikir
reasoning.
Penelitian ini mendapat kritik
tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan
permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan sehari –
hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin – mesin tersebut,
seperti: remote control, computer,
mesin cuci dsb, sedangkan orang – orang Liberia tidak terbiasa berhadapan
dengan piranti semacam itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan
memberik keuntungan bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi
subjek Liberia.
Cole dan rekan – rekannya
selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah
kotak terkunci beserta kunci – kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya
karena orang – orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila
dibandingkan dengan mesin beserta tombol – tombolnya. Pemecahan masalah tetap
dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak –
kotak kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci – kunci mana yang tepat
untuk membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda
dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau
dengan kata lain dengan sama mudahnya.
Kesuksesan percobaan Cole ini
masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau
mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan
kotak – kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan
percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua.
Subyek diminta membuka kotak dengan kunci – kunci yang kunci – kunci tersebut
harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek
harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke
dalam percobaan pertama. Subyek – subyek Liberia mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan masalah yang diajukan.
Cole selanjutnya menarik
kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna
memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang
disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang –
orang Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang – orang Amerika.
Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak
mengalami kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak
dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving
yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin,
sebaliknya, orang – orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang
diajukan juga kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang – orang
Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan
bekas jejak kakinya.
Tipe permasalahan lain yang
diteliti dalam kaitan problem solving dengan
perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka
permen, Siti masih kanak – kanak, apakah Siti menyukai permen?). dalam
penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan
masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindah – pindah), Luria (1976)
menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara
signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata –
rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan
silogis, namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun
dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah
mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras
(signifikan) dengan tingkat pendidikan.
Beberapa analisa coba diberikan
untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis
untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa orang – orang yang
tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan
orang – orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil
belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan
dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi
sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.
INTELIGENSI
Definisi Intelegensi
Kata inteligensi atau kecerdasan
berasal dari kata latin intellegentia,
yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero,
Dalam pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian,
talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif
dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa
baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi),
kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan
dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian
ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan
sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu
peristiwa dan melogikanya).
Banyak teori yang telah dibangun
para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai dari yang klasik, Piaget
yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan – tahapan yang jelas hingga
Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga komponen besar, yaitu
kecerdasan contextual, experiential, dan
componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk
beradaptasi dengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi
yang spesifik. Kecerdasan experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan
ide – ide baru dan mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak
berhubungan. Sedangkan kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan
berpikir abstrak, memproses informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Perbedaan Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian masalah inteligensi
dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan ternyata bahwa tidak
semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna sama dengan
makan inteligensi yang selama ini dipahami para psikolog Barat. Diyakini
perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari nilai – nilai budaya
tersebut.
Dalam bahasa Cina, kecerdasan
dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup di
dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara
sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering sering
diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku
Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada
kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati
hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan
istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari
pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika
Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi
yaitu n’gloule yang dipahami sebagai
seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan
pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen, 1985).
Perbedaan pemaknaan ini
menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas
budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang
Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin
menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi sosial.
Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan
pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang
lain (matsumoto, 1996)
Dengan demikian, adanya perbedaan
dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya barangkali merupakan
akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan
intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya.
Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan
sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor – factor penting dalam
intelegensi menurut definisi masyarakat China.
Permasalahan kedua yang menarik
perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan
intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam lintas
budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi manusia
adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi terhadap anak –
anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami kemajuan kognitif
melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya, kajian yang dilakukan
untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah berdasarkan hasil penelitiannya
pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga mampu menjelaskan tahap
perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating dari non – Eropa adalah
pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan penelitian.
Penelitian Perez (1988) melakukan
pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan
menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan
pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional
konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku
Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya
dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap
tertentu.
Kajian lintas budaya juga
membuktikan bahwa kemampuan berpikir abstrak atau penalaran ilmiah yang
diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata
tidak berlaku secara universal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai dan
pemberian penghargaan masyarakat pada skill
dan tertentu.
Sumber: Psikologi Lintas Budaya. Tria Dayakisni. Salis Yuniardi (Hal. 103 - 109)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar