Selasa, 07 Mei 2013

BUDAYA DAN KOGNISI

Budaya, Kategorisasi dan Pembentukan Konsep
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar  persamaan dan perbedaan karakter dari obyek – obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam – macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak – anak. Semuanya kita masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bias dihitung sejumlah jari tangan.

Seperti contoh kertas tadi, beberapa konsep psikologi juga berlangsung universal dalam kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan masalah kategorisasi warna – warna apa yang digolongkan warna – warna apa yang digolongkan warna primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah budaya tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya dua kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata warna  gelap dan warna terang – ternyata tetap mampu melakukan penggolongan warna – warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata bias. Namun kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah warna sekunder (campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es (warna putih bercampur warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi individu yang tidak hidup di lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang ditunjukkan adalah warna sekunder dari putih.

Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk – bentuk dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal ini berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap bentuk – bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna, dan ekspresi muka (Berry, 1999).

Namun demikian, beberapa penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi. Namun demikian , kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin saja tidak dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk lain dari tempat tidur.

Percobaan menarik dilakukan oleh Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966) yang mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh kognititif manusia. Pada para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang dan beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan kategorisasi terhadap gambar – gambar tersebut atas dasar perbedaan warna. Hal ini menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada sesuatu yang lebih dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas yang mempengaruhi sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas budaya tersebut.

Sejauh ini perbedaan di atas diasumsikan terhadi sebagai pengaruh tingkatan pendidikan Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian di Uganda terhadap anak dan orang dewasa penduduk setempat. Beberapa diantara responden anak maupun dewasa memiliki pendidikan yang cukup baik sedangkan yang lain tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya ditemukan bahwa tidak ada perbedaan, sebagaimana percobaan Greenfield, antara responden dewasa yang tidak memperoleh pendidikan dengan responden anak – anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Sebaliknya ada perbedaan dasar kategorisasi antara responden dewasa yang memperoleh pendidikan dengan anak – anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak – anak baik yang sekolah maupun yang tidak. Hasil ini menunjukkan bahwa anak – anak melakukan kategorisasi atas dasar  yang lebih kompleks.

Perbedaan Budaya dalam Memori
Anugerah Tuhan yang begitu besar pada manusia barangkali salah satunya adalah memori. Dengan memiliki memori, manusia bias mengingat pengetahuan yang telah diperolehnya sehingga bias membangun peradabannya, mengingat nama teman yang telah bertahun – tahun tidak bertemu lengkap dengan tahi lalat didagunya dan juga tempat serta peristiwa dimana pertama kali bertemu kekasih hati. Tetapi kadangkala kita juga merasa aneh ketika lupa dimana menaruh kunci mobil yang baru sekitar beberapa menit lalu masih kita pegang, atau lupa jawaban ujian yang sebenarnya tidak lebih sepuluh menit lalu kit abaca dan kita masih ingat halamannya.

Memoti sendiri adalah sebuah proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean (encoding), penyimpangan (strore), dan pemanggilan kembali (retrieve) informasi. Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek yaitu memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggil kembali (Feldman, 1999).

Masalah memori ini menjaid menantang ketika dikaitkan dengan perbedaan budaya. Apakah budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan, cara, serta apa yang dimemori? Termasuk budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan memori yang lebih baik daripada masyarakat yang sudah memiliki budaya baca tulis (literate) karena mereka terbiasa harus mengingat segala informasi yang ingin mereka ingat tanpa menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah masyarakat yang sudah memiliki budaya tulis lebih lemah memorinya karena terbiasa menggunakan bantuan catatan dalam melakukan pengingatan?

Ross dan Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996) menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingat. Mereka mendapatkan kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya yang membandingkan daya ingat pelajar Amerika dengan menemukan bahwa secara umum remaja Ghania mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Namun Cole (1971, dalam Matsumoto, 1996) menemukan bahwa sekalipun masyarakat non-literate mengingat isi cerita lebih baik namun mereka memiliki kemampuan yang lebih lemah dalam mengingat daftar kata.

Cole selanjutnya membangun asumsi bahwa mengingat informasi – informasi yang saling tidak terkait merupakan hal yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan sebaliknya tidak bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di sekolah murid terbiasa untuk mengingat huruf –huruf, berbadai macam data ataupun table, rumus – rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol – simbol abstrak (tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya gabungan huruf – huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah.

Salah satu aspek memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita ingat lebih baik adalah bagian pertama yang kit abaca(primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang harus kita ingat. Menariknya, Cole dan Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996) menemukan tidak adanya hubungan anatara serial position dengan kemungkinan apa yang diingat dari penelitiannya pada masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.

Wagner (1980, dalam matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy effect tergantung pada pengulangan dan strategi memori ini berhubungan dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan bahwa primacy effect cenderung sangat kuat terjadi pada anak – anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses memoti atas dua macam, yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (the basic limitation of memory) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti tahap kemampuan memori pada anak (lihat Bab Vi), dan Software atau bahasa pemrograman – pemrograman bagian kita mengingat sesuatu kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman inilah peran pendidikan dan budaya berpengaruh.

Budaya dan Problem Solving
Problem solving merupakan suatu proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait dengan factor pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan budaya tentunya. Namun para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem solving dan budaya dengan meminta individu – individu dari berbagai latar budaya untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam kehidupan sehari – hari mereka.

Salah satu penelitian yang mencoba memahami perbedaan problem solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia mengambil subjek orang – orang dari Amerika dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki beberapa banyak tombol, panel, dan lubang (stot). Untuk dapaat membuka piranti tersebut dan mendapat hadiah yang ada di dalamnya, para subyek harus melakukan penggabungan dua prosedur, yang pertama yaitu menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua adalah memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem solving ini dengan sangat mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek Liberia, dan semua usia dan latar belakang pendidikan, tampak mengalami kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah yang tepat membuka piranti. Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah orang – orang Amerika memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik dibandingkan orang Liberia utamanya dalam berpikir reasoning.

Penelitian ini mendapat kritik tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan sehari – hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin – mesin tersebut, seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb, sedangkan orang – orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberik keuntungan bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.

Cole dan rekan – rekannya selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah kotak terkunci beserta kunci – kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias budaya karena orang – orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila dibandingkan dengan mesin beserta tombol – tombolnya. Pemecahan masalah tetap dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak – kotak kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci – kunci mana yang tepat untuk membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau dengan kata lain dengan sama mudahnya.

Kesuksesan percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki terkait dengan kotak – kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole kembali mengadakan percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak dengan kunci – kunci yang kunci – kunci tersebut harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti tersebut subyek harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama. Subyek – subyek Liberia mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diajukan.

Cole selanjutnya menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang – orang Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang – orang Amerika. Sebaliknya ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak mengalami kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya, orang – orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang – orang Liberia, misalnya: menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya.

Tipe permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka permen, Siti masih kanak – kanak, apakah Siti menyukai permen?). dalam penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindah – pindah), Luria (1976) menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata – rata kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis, namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras (signifikan) dengan tingkat pendidikan.

Beberapa analisa coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa orang – orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang – orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.

INTELIGENSI
Definisi Intelegensi
Kata inteligensi atau kecerdasan berasal dari kata latin intellegentia, yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero, Dalam pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya).

Banyak teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan – tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru dan mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.

Perbedaan Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari nilai – nilai budaya tersebut.

Dalam bahasa Cina, kecerdasan dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup di dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering sering diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi yaitu n’gloule yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen, 1985).

Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi sosial. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang lain (matsumoto, 1996)

Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor – factor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat China.

Permasalahan kedua yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi manusia adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi terhadap anak – anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami kemajuan kognitif melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya, kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan penelitian.

Penelitian Perez (1988) melakukan pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu.

Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berpikir abstrak atau penalaran ilmiah yang diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai dan pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan tertentu.


Sumber: Psikologi Lintas Budaya. Tria Dayakisni. Salis Yuniardi (Hal. 103 - 109)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar