Kamis, 08 Mei 2014

VICTOR FRANKL

Kumpulan MateriDi Wina, Austia, pernah hidup seorang bernama Victor Frankl, yang eksistensinya merupakan Perpaduan antara tragedi dan kejayaan, kehancuran yang menyeluruh dan kemenangan sempurna. Oleh sebab itu, mahasiswa psikologi perlu bersentuhan dengan pemikirannya. Hidup dan kesimpulan yang didapatkan dari pengalamannya sangat bernilai – nilai karena mengajarkan kepada kita mengenai hidup kita sendiri.

Dr. Victor E. Frankl adalah penulis buku Man’s Seach for Meaning (Frankl, 1959). Bagian pertama dari bukunya ini mengisahkan penderitaan penulisnya selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp tahanan adalah kehidupan yang mengerikan, karena setiap saat ia berhadapan dengan ancaman pembunuhan yang dilakukan secara kejam. Kengerian yang berlangsung pada periode ini sebetulnya sudah banyak diperharikan di berbagai berita media dan film. Namun, rincian penuturan pribadi dari Frankl, selain belum banyak diketahui orang, juga sangat menyentuh perasaan. Ia misalnya menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu malam di musim dingin. Setelah kerja paksa seharian, sekelompok tawanan dipaksa berbaring di lantai mulai mengelupas. Dalam situasi demikian, Dr. Frankl, yang juga seorang korban seperti tawanan – tawanan lainnya, berbisik dengan suara pelan. Ucapannya merupakan penegasan mengenai arti kehidupan, yakni bahwa meskipun hidup dalam situasi tanpa pengharapan, eksistensi manusia tetap amat bermakna “Dalam keadaan seperti ini sekalipun,” ucapnya, “meski kita tidak mungkin untuk bekerja dan mengisi kehidupan, dan meski kita tidak bisa menikmati keindahan alam semesta, sesungguhnya masih tersisa sesuatu yang bersumber makna pada eksistensi kita. Yang sama maksud tidak lain adalah suatu tugas yang mahapenting, bahkan mungkin lebih penting dibandingkan tugas yang telah kita emban sebelum kita berada di tempat ini, yakni tugas untuk memikul penderitaan ini dengan penuh keberanian dan harga diri.” Orang yang mampu mengatakan hal demikian, di tengah jurang pendeitaan yang tak berujung, tentunya adalah orang yang layak kita dengar perkataannya.

Saya ingin memperlihatkan bahwa filsafat hidup dari Frankl bermanfaat untuk memahami penyakin yang dialami oleh manusai yang tinggal di dunia barat masa kini. Saya akan mulai dengan menduskusikan asal – usul dari penyakit ini. Penyakit zaman modern memang tidak tampak senyata dan mengerikan seperti halnya di Auschwitz, tetapi kita bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang keliru dengan cara hidup kita. Jika meelihat penyakit yang melanda manusia barat dewasa ini, baik perempuan maupun laki – laki, tampak bahwa filsafat hidup Dr. Frankl dapat digunakan untuk menjelaskannya.

Namun, untuk menghindari salah pengertian, pertama – tama saya ingin menekankan bahwa ajaran Frankl selain merupakan suatu pemikiran psikoterapi, juga merupakan saut filsafat hidup. Merupakan filsafat hidup, karena pemikirannya memberikan interpretasi yang konsisten mengenai hidup, kematian, cinta, tanggung jawab dan berbagai aspek penting dalam hidup, pemikiran Frankl juga merupakan suatu pandangan psikoterapi karena interpretasi filsafat tersebut memiliki nilai dapat membantu pemulihan individu – individu neurotic. Sebagia pendekatan psikoterapi, pemikiran Frankl disebut Logoterapi (berasal dari kata Yunani, “Logo” yang berarti makna). Logoterapi adalah salah satu beberapa pemikiran psikoterapi yang bersumber dari premis eksistensial.

Sekarang saatnya saya menggambarkan kondisi yang merupakan campuran antara kelusuan dan kecemasan manusia modern, sambil memberi pandangan singkat mengenai factor penyeban kondisi yang sangat tidak nyaman tersebut.

Pada umumnya klien psikoterapi pada awalnya abad ke – 20, pergi mencari pertolongan pada ahli psikoterapi karena suatu sebab yang dapat digambarkan dengan jelas, mereka mengalami gangguan yang kasat mata. Misalnya kelumpuhan tungkai yang tidak mempunyai sebab organik, atau menderita dorongan kompulsif untuk sellau mencucu tangan, atau tak kuasa menahan keinginan memeriksa pintu untuk memastikan apakah pintu itu sudah terkunci atau belum. Akan tetapi, symptom neurotic masa sekarang sangantlah berbeda. Gangguan tidak hanya terjadi pada satu aspek eksistensi pasien neurotic itu. Ada sesuatu yang salah pada dirinya secara keseluruhan dan hubungan mereka dengan alam di luar dirinya terganggu. Seakan – akan terdapat dinding kaca yang tak bisa ditembus antara dirinya dan dunianya. Dunia tidak menarik perhatiannya. Hambar. Ia tidak dapat mengikatkan diri, bahkan di tingkat yang dasar sekalipun, dengan dunia. Ia tidak tahu harus berbuat apa dalam hidup. Yang tersisa hanya ada rasa jemu dan hampa.

Hari demi hari, minggu demi minggu, atau seluruh hidup yang dijalani, mestinya merupakan suatu cerita beralur. Atau suatu alunan musih dengan permulaan yang lembut, yang kemudian mendaki suatu crescendo hingga ke puncaknya, lalu berangsung – angsur menurun kembali. Akan tetapi, bagi sebagian orang hidup tidak bergelora demikian, melainkan sekadar rangkaian monoton peristiwa berulang yang tak bermakna. Kenyataan ini bukan hanya tampak dari kehidupan nyata sehari – hari, tetapi juga digambarkan oleh para pengarang yang menyajikan novel berisi rangkaian peristiwa yang tidak terstruktur, bukan novel dengan alur klasik.

Makin banyak anak muda, ketika harus memilih pekerjaan, tidak memerlukan pilihannya. Pilih mana pun sama saja, karena mereka enggan menemukan makna dalam pekerjaannya. Hal yang serupa ketika memilih pasangan seksual. Asal bisa terpuaskan nafsu birahinya, individu bisa melakukan hubungan seksual dengan siapa pun, tanpa landasan cinta, apa lagi religi.

Kondisi yang saya gambarkan di atas adalah suatu ketiadaan makna, tujuan, arah dan ketiadaan keterlibatan. Lazim juga disebut kehampaan eksistensial. Barangkali mereka yang mengalami kehampaan eksistensial harus merasa iri pada penderitaan neurotic zaman Victoria di Eropa, karena penderita neurotic pada zaman itu masih bisa mengalihkan masalah merek ke dalam dorongan kompulsif untuk mencuci tangan.

Wujud dari gangguan emosional memang telah berubah. Bukan hanya wujudnya, namun juga penyebabnya. Sekitar tahun 1900 – an, orang kebanyakan – berkulit putih, kelas menengah – mengaggap bahwa alam, bumi, masyarakat, keluarg, dan gereja masih merupakan lembaga yang bermakna dan konstruktif. Jadi, bila ia gagal menyesuaikan diri dalam dunia tersebut, niscaya ada sesautu yang salah dalam lingkungan khususnya. Kemudian psikoanalisis ( dan pemikiran yang terkait dengannya ) akan mengarahkan perhatian pada keluarga penderita neurotic, seperti cara mengasuh yang keliru atau hubungan yang tidak menyenangkan di antara anggota kelurganya.

Meski mengakui peran potensial urusan keluarga, pengamat gangguan emosional sekarang lebih mengarahkan perhatian pada penyebab lain. Mereka tidak menganggap bahwa “semua berlangsung sempurna,” kecuali pada mereka yang kalah lotere sehingga tidak mendapatkan harta karun dunia. Pengamat modern lebih mengarahkan perhatian pada factor yang menghinggapi seluruh manusia atau seklelompok besar manusia. Factor yang pertama berkenaan dengan “Kondisi manusia,” yakni kondisi yang melekat pada seluruh manusai. Sementara itu, yang kedua merupakan aspek khusus yang terdapat dalam masyarakat (“Kondisi masyarakat) yang menghalangi anggota masyarakat untuk memenuhi tujuannya.





Sumber: ANALISIS EKSISTENSIAL. Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan Psikiatri. Dr. Zainal Abidin, M.Si. (Hal 253 – 257)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar