Dalam semua buku psikologi, baik yang sifatnya pengantar maupun lanjutan, dapat dibaca bahwa manusia tidak dapat dipejari terlepas dari pengaruh lingkungan di mana dia berada. Dalam kenyataannya hampir semua buku acuan psikologi yang digunakan di Indonesia didasarkan pada hasil-hasil penelitian di Indonesia. Ini berarti semua konsep, teori dan contoh yang digunakan pada penelitian manusia Barat di dalam lingkungan budaya Barat pula. Oleh karena itu, sebelum digunakan dalam konteks Indonesia, konsep dan teori tersebut perlu diuji terlebih dulu apakah memang dapat langsung digunakan atau perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Untuk jelasnya akan di kemukakan dua contoh sebagai ilustrasi.
Sudah sejak permulaan tahun 1980-an Triandis dan kawan-kawannya meneliti perbedaan dari ada yang mereka sebut sebagai kebudayaan individualistik dan kolektivistik. Hasil penelitian mereka di beberapa kebudayaan Asia yang koletivistik menunjukkan bahwa orang Asia dalam menentukan pembagian yang adil menggunakan prinsip equality di mana tiap orang dalam menyelesaikan tugas kelompok tidak sama. Hal ini berbeda dengan orang dari kebudayaan individualistik yang menggunakan prinsip equality di mana jumlah yang diterima seseorang disesuaikan dengan besar kecilnya sumbangan dalam menyelesaikan dengan besar kecilnya sumbangannya dalam menyelesaikan tugas kelompok. Namun, penelitian lebih lanjut di berbagai kebudayaan kolektivistik. Menunjukkan bahwa prinsip equality bagi kebudayaan kolektivistik tidak berlaku umum karena hanya diberlakukan pada orang yang dianggap in-group sedangkan untuk out-group perilaku mereka sama dengan orang dari kebudayaan individualistik yaitu menggunakan prinsip equity. Mengingat siapa yang termasuk in-group dan out-group tidak sama untuk tiap kebudayaan, penerapan prinsip equality di Indonesia yang tergolong berkebudayaan kolek-tivistik perlu disesuaikan dengan definisi in-group dan out-group yang berlaku di Indonesia.
Pramono menggunakan konsep gaya kepemimpinan dari Hersey dan Blanchard yang didasarkan pada dua dimensi yaitu relationship dan task behavior. Berdasarkan dua dimensi ini mereka mengemukakan empat gaya kepemimpinan yaitu: telling, selling, participating, dan delegating. Dari 22 orang yang diteliti ternyata 21 memilih gaya kepemimpinan selling dan participating yang mementingkan dimensi retionship. Walaupun tentu tidak boleh digeneralisasikan datang terbatas ini menimbulkan dugaan bahwa relationship sangat peting bagi responden Indonesia sehingga tidak akan ada yang memilih gaya kepemimpinan (telling, delegat-ing) di mana dimensi ini tidak penting. Bila dugaan ini dapat diuji kebenarannya, berarti gaya kepemimpinan Hersey dan Blancharad tidak dapat diterapkan di Indonesia tanpa dilakukan penyesuaian.
Tentunya ada banyak contoh lain baik tentang teori-teori kepribadian, tingkah laku sosial, kognisi, ataupun yang menyangkut tes psikologi. Kedua ilustrasi di atas menunjukkan bahwa bila suatu teori yang dikembangkan di suatu kebudayaan (misalnya, Amerika Serikat) akan dugunakan di Indonesia, perlu dilakukan penelitian terlebih dulu. Dalam hal ini penelitian lintas-budaya dengan menggunakan sampel Amerika dan Indonesia dan memperhatikan persyaratan yang tertulis dan Indonesia dan memperhatikan persyaratan yang tertulis. Persoalan Metodelogis akan dapat menunjukkan sampai sejauh mana teori tersebut dapat dipakai di Indonesia dan atau adaptasi apa yang perlu dilakukan
Sumber: Buku Psikologi Lintas Budaya Riset dan Aplikasi. John W. Berry. Ype H. Poortinga. Marshall H. Segall. Pierre R. Dasen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar