Dalam
interaksinya dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami
berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut dapat berbentuk
hubungan seks secara paksa, kekerasan fisik ataupun pelecehan secara
lisan. Ada yang berbentuk perkosaan, kekerasan sewaktu kencan,
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap mitra intim, dan
pelecehan seks.
Perkosaan
Kejahatan
berupa perkosaan seakan-akan telah menjadi bagian tetap kehidupan
sehari-hari kita. Dalam media massa hampir tiap hari kita menemui
berita mengenai berbagai bentuk perkosaan yang dialami warga
masyarakat kita. Ada berita tentang pemerkosaan di luar negeri
terhadap tenaga kerja perempuan asal Indonesia; tentang penumpang
taksi yang diperkosa supir taksi dan temannya; tentang penghuni rumah
yang diperkosa perampok, tentang anak perempuan di bawah umur yang
diperkosa yang diperkosa laki-laki usia lanjut; tentang perempuan
yang diperkosa sejumlah laki-laki secara bergantian (gang rape)
pada waktu terjadi kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta Kota. Perkosaan
tidak hanya dilakukan terhadap seseorang yang berjenis kelamin
berbeda, tetapi dapat pula dilakukan terhadap seseorang laki-laki
dewasa terhadap seorang laki-laki lain, terutama yang berusia muda
atau masih di bawah umur.
Moore
dan Sinclair (1995) menyajikan beberapa fakta mengenai perkosaan.
Menurut data mereka perkosaan sering dilakukan terhadap perempuan
berusia muda, oleh orang yang telah dikenal korban seperti tetangga,
teman kencan, pacar, atau kerabat. Fakta lain ialah bahwa perkosaan
jarang dilaporkan ke pihak berwajib. Karena perkosaan jarang
dilaporkan atau didiagnosis, maka American Medical
Association menganggap perkosaan
sebagai epidemi kekerasan yang sunyi (silent-violent
epidemic).
Mengapa perkosaan jarang dilaporkan kepada pihak yang berwajib?
Menurut Giddens (1989) perkosaan sering tidak dilaporkan karena sang
korban ingin secepat mungkin melupakan kejadian yang telah
mempermalukannya itu. Selain itu sang korban mungkin pula tidak mau
mengadu karena tidak bersedia menjalani pemeriksaan medik,
pemeriksaan oleh polisi, dan pemeriksaan oleh hakim dan pengacara di
pengadilan yang menurut pendapatnya akan semakin mempermalukannya.
Keengganan korban untuk menepuh jalur hukum pun terjasi karena dalam
pengadilan harus dibuktikan bahwa ia memang diperkosa, dan dalam
proses pemeriksaan di pengadilan mungkin harus menjawab pertanyaan
mengenai pribadinya.
Kekerasan
Domestik
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang, baik perempuan maupun
laki-laki, mengalami kekerasan jenis ini dinamakan domestik (domestic
violece). The Family Violence Prevention Fund and Trauma
Foundation (1994) merumuskan kekerasan domestik sebagai “tindakan
ataupun acaman tindakan pelecehan fisik, seks, psikologis ataupun
ekonomis oleh seseorang terhadap orang lain yang menjadi ataupun
pernah menjadi mitra intinya.” dari perumusan ini nampak bahwa
ruang lingkup kekerasan domestik cukup luas, karena tidak terbatas
fisik saja tetapi mencakup pula berbagai bentuk pelecehan lain.
Dampak kekerasan domestik pun beraneka ragam, pelecehan psikologis
dapat berakibat gangguan emosi pada korban, tetapi pelecehan fisik
dapat berakibat cedera fisik yang memerlukan perawatan medik
intensif, dan bahkan maut.
Mangingat bahwa korban kekerasan sering terdiri atas mitra intim,
maka centers for Diseaes Control (1999) memperkenalkan konsep
kekerasan terhadap mitra intim (intimate partner violence).
Centers for Disease Control pun mengamati bahwa kekerasan
sering terjadi waktu dua orang yang belum terikat hubungan pernikahan
sedang kencan, sehingga meng-anggap perlu ketiga konsep, maka nampak
bahwa dalam hal bentuk ketiga jenis kekerasan tersebut tidak banyak
berbeda. Ketiganya menekankan pada tindakan ataupun ancaman pelecehan
fisik, seks maupun psikologis. Yang berbeda ialah penekanannya pada
hubungan di antara anggota keluarga, sedangkan kekerasan waktu kencan
berlangsung antara orang berhubungan intim namun belum terikat
hubungan pernikahan.
Karena dalam ranah domestik maupun publik kekuasaan perempuan
cenderung lebih kecul daripada laki-laki, maka korban kekerasan
domestik, kekerasan terhadap mitra intim maupun kekerasan waktu
kencan kecendungan terdiri atas perempuan. Dalam sejumlah rumah
tangga misalnya, dijumpai suami yang sering memukul istri. Dan yang
cenderung menjadi korban kekerasan dalam kencan pun biasanya kaum
perempuan.
Pihak berwajib biasanya enggan turun tangan dalam kasus kekerasan
domestik, dengan alasan tidak mau mencampuri urusan rumah tangga. Di
samping itu para istri yang menjadi korban kekerasan (battered
wives) pun sering tidak melakukan pengaduan ke pihak berwajib
kerana berbagai alsan
Sumber: Buku Pengantar Sosiologi, edisi revisi. Kamanto Sunarto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar