Prasangka
Dalam
hubungan antarkelompok sering ditampilkan sikap yang khas. Dalam
kaitan ini, salah satu konsep yang banyak diulas oleh para ilmuwan
sosial ialah prasangka (prejudice).
Prasangka (prejudice) merupakah suatu istilah yang mempunyai
berbagai makna. Namun dalam kaitannya terhadap hubungan antarkelompok
istilah ini mengacu pada sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap
suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut
mempunyai ciri yang tidak menyenangkan. Sikap ini dinamakan prasangka
sebab dugaan yang dianut orang yang berprasangkantidak didasarkan
pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang cukup memadai.
Pandangan laki-laki bahwa perempuan, pengalaman ataupun bukti yang
cukup memadai. Pandangan laki-laki bahwa perempuan lebih banyak emosi
dan kurang rasio, pandangan orang Kulit Putih di daerah selatan
Amerika Serikat bahwa orang Kulit Putih adalah orang yang tidak tahu
diri dan yang bertekad untuk menyaingi karyawan Kulit Putih serta
memperkosa perempuan Kulti Putih (lihat v. d. Berghe, 1967:87),
pandangan di kalangan orang Pribumi kita di Sukabumi bahwa Orang
Thionghoa terlalu lihai dan curang dalam berdagang dan semata-mata
tertarik pada uang (lihat Tan, 1963:274), pandangan di kalangan orang
Tionghoa di Semarang bahwa mereka lebih cerdas dan lebih mampu
daripada orang Indonesia (lihat Willmott,1970), pandangan di kalangan
orang Sunda bahwa orang Batak kasar dan agresi (lihat Bruner, 1974)
merupakan contoh mengenai prasangka antarkelompok.
Menurut Banton (1967:293-314) dalam hal tertentu istilah prasangka
mempunyai makna hampir serupa dengan istilah antagonisme dan antipun.
Beda utamanya ialah bahwa antagonisme atau antipati dapat dikurangi
atau diberantas melalui pandidikan, sedangkan sikap bermusuhan pada
orang yang berprasangka bersifat tidak rasional dan berada di bawah
sadar sehingga sukar diubah meskipun orang yang berprasangka tersebut
diberi penyuluhan, pendidikan atau bukti yang menyangkal kebenaran
prasangka yang dianut.
Mengapa suatu kelompok berprasangka terhadap kelompok lain? Salah
satu teori yang dipelopori Dollard ialah teori frustasi-agresi
(frustration-aggression theory). Menurut Banton (1967:294-299)
teori ini mengatakan bahwa orang akan melakukan agrasi manakala
usahanya untuk memperoleh keputusan terhalang. Jika agresi tidak
dapat ditunjukan pada pihak yang menghalangi usahanya, maka agresi
tersebut dialihkan (displaced) ke suatu kambing
hitam(scapegoat). Menurut teori ini, dimasa lalu orang kulit
putih miskin di daerah Selatan Amerika Serikat yang berdaa, yaitu
orang Kulit Hitam. Penelitian Selo Soemardjan terhadap perilaku
kolektif di Sukabumi pada tahun 1963 mengungkapkan bahwa perusakan
orang pribumi terhadap harta benda orang Tionghoa antara lain
dilandasi rasa tidak puas terhadap Pemerintah, yang dialihkan pada
orang Tionghoa. Kesulitan ekonomi yang dihadapi banyak orang Jerman
bagian Timur setelah terjadinya penyatuan Jerman Timur dengan Jerman
Barat diduga menjadi salah satu sebab terjadinya serangan fisik
terhadap para migran dan pengungsi asing yang bermukim di negara itu.
Stereotip
Strereotip (stereotype) merupakan suatu konsep yang erat
kaitannya dengan konsep prasangka: orang yang menganit strereotip
mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok
tersebut. Menurut Kornblum (1988:303) stereotip merupakan citra yang
kaku terhadap kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa
memperhatikan kebenaran citra tersebut. Menurut Banton (1967:
299-303) stereotipe mengacu pada kecenderungan bahwa sesuatu yang
dipercaya orang bersifat terlalu menyederhanakan dan tidak peka
terhadap fakta objektif. Stereotipe mungkin ada benarnya, tetapi
tidak seluruhnya benar. Menurut stereotipe yang dipunyai orang
Amerika mengenai orang keturunan Polandia, misalnya, orang Polandia
antara lain bodoh, kotor, tidak berpendidikan, tidak berbudaya (lihat
Komblum, 1988:304). Menurut Komblum stereotipe ini berasal dari abad
ke-19, tatkala orang polandia yang bermigrasi ke Amerika Serikat
adalah petani yang tak berpendidikan.
Stereotipe yang dikemukakan diatas bersifat negatif. Namun stereotipe
dapat pula bersifat positif. Contoh dari stereotipe positif ialah,
misalnya, bahwa perempuan antara lain bersifat menyenangkan, halus,
hangat, berhati lembut, memahami, sopan, lembut (lihat Light, Keller
dan Calhoun, 1989: 337)
suatu klasifikaasi menarik dikemukakan oleh Pettigrew (1969:277-282).
menurutnya kita perlu memperhatikan dua macam stereotipe negatif yang
saling beruntung, yang diajukan oleh Janowitz dan Bettelheim.
Stereotipe superego (the superego steretype) dan stereotip id
(the id stereotype). Stereotipe superego melihat bahwa suatu
kelompok mempunyai sifat pribadi tertentu seperti sifat berambisi,
rajin, penuh usaha, cerdas, curang, tidak jujur. Menurut Pettigrew
stereotip ini melekat pada kelompok tertentu yang sering menjadi
perantara seperti orang Yahudi, orang Tionghoa di Asia, dan orang
keturunan India di Afrika. Sebagaimana nampak dari pembahasan di
atas, menurut Tan stereotipe sejenis ini dipunyai orang pribumi di
Sukabumi mengenai orang Tionghoa.
Stereotipe id, dipihak lain, melihat bahwa suatu kelompok yang
cenderung berada pada lapisan bawah masyarakat bersifat malas, tanpa
tanggung jawab, tidak berambisi, bodoh, malas, tidak dapat menahan
diri. Menurut Pettigrew stereotipe seperti ini antara lain dipunyai
orang kulit putih di Amerika mengenai orang kulit hitam, dan orang
Italia mengenai orang yang berasal dari Italia Selatan. Sebagaimana
telah dikemukakan di kala membahas prasangka, menurut Willmaott
stereotipe sejenis ini dipunyai pula oleh orang Tionghoa di Semarang
mengenai orang Indonesia.
Sumber: Buku Pengantar Sosiologi, edisi revisi. Kamanto Sunarto.
0 komentar:
Posting Komentar