Terapi tingkah laku harus
memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada
pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah
laku secara khas berfungsi sebagai gutu, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis
tingkah laku yang maladaptive dan dalam menentukan prosedur – prosedur
penyembuhan diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive.
Sebagai hasil tinjauannya yang
seksama atau kepustakaan psikoterapi Krasner (1967) mengajukan argumen bahwa
peran seorang terap, terlepas dari aliansi teorinya, sesungguhnya adalah “mesin
perkuatan.” Apapun yang dilakukannya, terapi pada dasarnya terlibat dalam
pemberian perkuatan – perkuatan sosial, baik yang positif maupun yang negative.
Bahkan meskipun mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan
dengan pertimbangan – pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku klien,
baik melalui cara – cara langsung maupun melalui cara - cara tidak langsung. Krasner (1967, hlm,
202) menandakan bahwa “terapis atau pemberi pengaruh adalah suatu mesin perkuatan,
yang dengan kehadirannya memasok perkuatan yang digeneralisasikan pada setiap
kesempatan dalam situasi terapi, terlepas dari teknik atau kepribadian yang
terlibat ia menyatakan bahwa tingkah laku klien tunduk pada manipulasi yang
halus oleh tingkah laku terapis yang memperkuat. Hal itu acap kali terjadi
tanpa disadari, baik oleh klien maupun oleh terapis. Krasner (1967), dengan
mengutip kepustakaan, menunjukkan bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan
mengendalikan psikoterapis dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan
teknik – teknik belajar dalam suatu situasi perkuatan sosial. Krasner lebih
lanjut menyatakan bahwa, meskipun sebagaian besar terapis tidak senang dengan
peran “pengendali” atau “manipulator” tingkah laku, istilah – istilah tersebut
menerangkan secara cermat apa sesungguhnya peran terapis itu, ia mengutipbukti
untuk menunjukkan bahwa atau dasar perannya, terapi memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi dan mengendalikan tingkah laku dan nilai – nilai manusia lain.
Ketidaksediaan terapis untuk menerima situasi ini dan terus – menerus tidak
menyadari efek – efek tingkah lakunya atas para pasiennya itu pun “ tidak etis”
(Krasner, 1967, hlm. 204)
Goodstein (1972) juga menyebut
peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut Goodstein (hlm. 274), “peran
konselor adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak
dengan secara sisternatis memperkuat jenis tingkah laku klien semacam itu”.
Minat perhatian, dan persetujuan (ataupun ketidakberminatan dan
ketidaksetujuan) terapis adalah penguat – penguat yang hebat bagi tingkah laku
klien. Penguat – penguat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa,
baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa peran mengendalikan tingkah
laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan menjangkau situasi di luar
konseling serta dimasukkan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata:
“Konselor mengganjar respons – respons tertentu yang dilaporkan telah
ditampilkan oleh klien dalam situasi – situasi kehidupan nyatan dan menghukum
respons – respons yang lainnya. Ganjaran – ganjaran itu adalah persetujuan,
minat, dan kepribadian. Perkuatan semacam itu penting terutama pada periode
ketika klien mencoba respons – respons atau tingkah laku baru yang belum secara
tetap diberi perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan klien” (Goodstein, hlm.
275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan adalah bahwa
terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku baru dikembangkan oleh klien satu
fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Bandura
(19(9) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui
pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah
laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu prose fundamental yang
memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku, baru adalah imitasi atau
percontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi menjadi
model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagai
orang yang patut diteladani, klien acap kali meniru sikap – sikap, nilai –
nilai, kepercayaan – kepercayaan, dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus
menyadari peranan penting yang dimainkan dalam proses identifikasi. Bagi
terapi, tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam memperkuat dan
membentuk cara berfikir dan bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti
penting kepribadiannya sendiri dalam proses terapi.
Sumber: Teori dan Praktek KONSELING & PSIKOTERAPI.
Gerald Corey (Hlm. 202 – 204)
0 komentar:
Posting Komentar