Ada suatu kecenderungan yang
menjadi bagian dan sejumlah kritik untuk menggolongkan hubungan antara terapis
dank klien dalam terapi tingkah laku
sebagai hubunga yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Bagaimanapun,
sebagian besar penulis di bidang terapi tingkah laku, khususnya Wolpe (1958,
1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah
satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Sebagaimana disinggung di
muka, peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan.
Para terapis tingkah laku tidak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan
impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin – mesin yang deprogram yang
memasaksakan teknik – teknik kepada para klien yang mirip robot.
Bagaimanapun, tampak bahwa pada
umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada variable –
variable hubungan terapis – klien. Sekalipun demikian, sebagian besar dari
mereka mengakui bahwa factor – factor seperti kehangatan, empati, keotentikan,
sikap permisif dan penerimaan adalah kondisi – kondisi yang diperlukan, tetapi
tidak cukup bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalal proses terapeutik.
Tentang persoalan ini, Goldstein (1973, hlm. 220) menyatakan bahwa pengembangan
hubungan kerja membentuk tahap bagi kelangsungan terapi. Ia mencatat bahwa
“hubungan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai
pemaksimalan terapi yang efektif”. Sebelum
intervensi terapeutik tertentu bisa memunculkan dengan suatu derajat keefektifan, terapis terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan
dengan memperlihatkan bahwa (1) ia memahami dan menerima pasien, (2) kadua
orang di antara mereka bekerja sama, dan (3) terapis memiliki alat yang berguna
dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien.
Sumber: Teori dan Praktek KONSELING & PSIKOTERAPI.
Gerald Corey. (Hlm. 206)
0 komentar:
Posting Komentar