Kata “universal” (umum)
menunjukkan pada pemberlakuan untuk semua orang atau melingkupi seluruh dunia.
Ilmu pengetahuan mengenal apa
yang disebut ilmiah universal, yaitu dalil pengertian, ataupun aksioma yang
berlaku umum. Sebagai ilmu, psikologi juga harus mempunyai sifat – sifat ini
dan berarti bahwa psikologi harus mempelajari manusia dalam pengertian –
pengertian yang berlaku umum di samping mempelajarinya sebagai totalitas
kepribadian yang unik. Sifat umum yang terdapat pada setiap manusia, misalnya,
adalah manusia dalam berpikir harus menggunakan simbol dan tiap – tiap tingkah
laku manusia selalu didorong oleh kebutuhan.
Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, dapat kita saksikan terjadinya suatu proses universalisasi yaitu
semakin banyak realistis terjangkau oleh metode ilmiah. Proses universalisasi
ini akhirnya berujung pada situasi yang serbabiasa bagi kita sekarang, yaitu
keyakinan bahwa segala sesuatu bisa menjadi objek penelitian ilmiah.
Suatu tuntutan yang sepintas lalu
tampaknya sedikit aneh adalah universalitas ilmu pengetahuan. Apakah
universalitas bagi ilmu alam, umpamanya, dapat berlaku juga bagi ilmu
pengetahuan psikologi yang justru terarah pada yang unik? Jawabnya harus
bernuansa. Dengan caranya sendiri psikologi pun akan mencari yang universal
atau umum. Akan tetapi, “umum” di sini tidak berarti “dapat diulangi”. Disini,
“umum” menunjukkan bahwa hal – hal yang secara “genetis” mempunyai arti umum
karena menjalankan suatu pengertian umum atas tingkah laku atau proses mental.
Yang dikatakan tentang
universalitas tersebut dapat dikatakan juga tentang tuntutan objektivitas. Setiap ilmu seharusnya
objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka –
prasangka subjektif.
Agar objektivitas terjamin sebaik
mungkin, ilmu pengetahuan harus memenuhi juga tuntutan intersubjektivitas. Ilmu pengetahuan seperti psikologi harus dapat disertivikasi oleh semua penelitian
ilmiah yang bersangkutan, biarpun verifikasi akan bersifat lain sejauh tipenya
akan berbeda. Karena itu, psikologi harus dapat dikomunikasi. Bisa saja psikologi menggunakan suatu bahasa teknis
yang hanya dimengerti para ahli, namun mestinya bahasa itu pada prinsipnya
terbuka bagi siapa saja yang mempunyai bakat dan ingin berusaha menguasainya.
Dari beberapa definisi psikologi
yang diberikan oleh para ahli, seperti yang telah kita bicarakan, pada
prinsipnya sudah bahwa psikologi mempelajari tingkah laku dan proses mental
manusia. Jadi, pada prinsipnya para hali sudah sepakat, walaupun beberapa masih
terdapat perbedaan karena adanya sudut pandang yang berbeda pula, keadaan
demikian adalah lumrah bagi suatu ilmu yang relatif muda seperti psikologi
sebagai ilmu yang berdiri sendiri, terlepas ikatannya dengan ilmu – ilmu lain,
seperti filsafat, ilmu faal, ilmu kedokteran, dan sebagainya.
Universalitas psikologi ini,
akhirnya, mencirikan sekaligus memenuhi syarat keempat bahwa psikologi sudah
layak untuk disebut sebagai ilmu.
Masalah nilai universal dari
konsep – konsep psikologi, menurut pengamatan Koentjaraningrat (1980 : 31 –
32), juga mendapat perhatian para ahli antropologi. Dengan pengalaman mereka
dalam hal mempelajari bangsa – bangsa di luar Eropa, memperdalam ilmu
psikologi, mereka mulai meragukan nilai universal dari beberapa konsep dan teori psikologi. Mereka meragukan apakah konsep – konsep dan teori – teori ini
juga berlaku untuk individu – individu yang hidup di luar lingkungan
masyarakat. Eropa – Amerika. Konsep “kegoncangan batin masa remaja”, milsanya,
yang dianggap oleh para ahli psikologi sebagai gejala penting dalam pertumbuhan
remaja dalam masyarakat kota di negara – negara Barat, menurut beberapa ahli
antropologi, tidak dialami oleh para
remaja dalam masyarakat di luar Eropa, seperti masyarakat Samoa di Polinesia.
Dengan demikian, konsep psikologikal tersebut hanya berlaku untuk masyarakat
Ero – Amerika dan tidak mempunyai nilai universal. Tidak mengherankan apabila
ilmu psikologi mempunyai beberapa konsep dan teori seperti itu, karena ilmu
tersebut memang tumbuh di dalam masyarakat Ero – Amerika. Akan tetapi, dengan
ikut campurnya para ahli antropologi dalam hal penggunaan konsep dan teori
psikologi, timbulah isu ilmiah yang baru tadi, yang sebaliknya juga
menguntungkan ilmu psikologi, karena dengan kritik para ahli antropologi itu, para ahli psikologi dapat
berusaha untuk lebih mempertajam konsep dan teori – teori yang mereka gunakan.
Sumber: Psikologi Umum. Drs. Alex Sobur, M. Si. (Hlm. 59 –
60).
0 komentar:
Posting Komentar