PSIKOLOGI FORENSIK - Kumpulan Materi
Breaking News
Loading...
Minggu, 26 Juli 2015

PSIKOLOGI FORENSIK

Kumpulan Materi - Psikologi forensik dirasa mulai penting sekitar tahun 1970. Psikologi forensik adalah interface dari Psikologi dan Hukum, dan merupakan aplikasi pengetahuan psikologi, khususnya psikologi klinis, pada masalah – masalah yang dihadapai jaksa, polisi, dan lain – lain untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan keadilan sipil, kriminal, dan administratif (civil, criminal, administrative justice).

Awal psikologi forensik adalah ketika terdapat perbedaan pendapat antara Munsterberg dan Wigmore pada tahun 1908, tentang peran psikolog dalam proses pengadilan. Menurut Munsterberg yang paling anti atas peran psikologi ialah para jaksa. Hal ini ditanggapi oleh Wigmore – seorang ahli hukum – sedemikian rupa sehingga Munsterberg akhirnya diadili. Baru pada tahun 1954, Bazelon – seorang hakim – mengakui bahwa psikolog yang mempunyai kualifikasi tertentu dapat menjadi saksi ahli di pengadilan yakni sebagai ahli gangguan jiwa. Selanjutnya, berkat tulisan dari Loh (dalam Phares, 1992) psikolog yang pada sekitar tahun 1950 hanya dapat menjadi saksi ahli, juga dapat bertindak sebagai konsultan bagi para juri dalam sistem pengadilan di Amerika Serikat.

Peran Psikologi Klinis dalam Sistem Legal

Cukup banyak yang dapat dilakukan oleh ahli psikologi klinis, antara lain: Law enforcement, psychology of litigation, layanan dipenjara dan aplikasi psikologi forensik. Dalam hal law enforcement, psikologi klinis dapat melakukan penelitian untuk mengukur dan meningkatkan kesadaran hukum dampak masyarakat. Psychology of litigation membahas dampak prosedur legal pada terdakwa, juri, dan sebagainya. Psikologi klinis dapat memberi nasihat kepada mereka yang mendapat dampak buruk untuk kemudian meninjau perbaikan prosedur legal. Layanan dipenjara sudah banyak diketahui oleh psikolog di Indonesia. Para petugas penjara seringkali meminta jasa psikologi untuk membantu mereka memberikan layanan terbaik bagi para tahanan, namun tampaknya tidak banyak psikologi yang tertarik untuk mengerjakan tugas – tugas di penjara (Nietzel, 1998).

Kegiatan Psikolog dalam Bidang Psikolog Forensik

Bidang yang dinamakan psikologi forensik mencakup peran psikolog dalam menentukan beberapa hal penting, yaitu (Phares, 1992):

  1. Psikolog dapat menjadi saksi ahli. Ada perbedaan antara saksi ahli dan saksi biasa. Seorang saksi ahli harus mempunyai kualifikasi dalam hal ini, clinical expertise, meliputi pendidikan, publikasi, lisensi, pengalaman, kedudukan, penelitian, publikasi, pengetahuan, aplikasi prinsip – prinsip ilmiah, serta penggunaan alat tes khusus.
  2. Psikologi dapat menjadi penilai dalam kasus – kasus kriminal, misalnya menentukan waras/tidaknya (sane/insane) pelaku kriminal, bukan dalam arti psikologis, namun dalam arti legal/hukum.
  3. Psikolog dapat menjadi penilai bagi kasus – kasus madani/sivil. Termasuk di dalamnya menentukan layak/tidaknya seseorang masuk rumah sakit jiwa, kekerasan dalam keluarga, dan lain – lain. Di indonesia sudah ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah – masalah kekerasan dalam keluarga, misalnya Pusat Krisis Terpadu (PKT) di RSCM, LBH – APIK, dan lain – lain.
  4. Psikolog dapat juga memperjuangkan hak untuk memberi/menolak pengobatan bagi seseorang.
  5. Psikologi diharapkan dapat memprediksi bahaya yang mungkin berkaitan dengan seseorang. Misalnya, dampak baik/buruk mempersenjatai seseorang. Psikolog diharapkan tahu tentang motivasi, kebiasaan, dan daya kendali seseorang.
  6. Psikolog diharapkan dapat memberikan treatment sesuai dengan kebutuhan.
  7. Psikolog diharapkan dapat menjalankan fungsi sebagai konsultan dan melakukan penelitian di bidang psikologi forensik.

Nietzel dkk. (1998) menyimpulkan bahwa ada lima pokok bahasan psikologi forensik, yaitu:

  1. Kompetensi untuk menjalankan proses pengadilan serta tanggung jawab kriminal.
  2. Kerusakan psikologis yang mungkin terjadi dalam pengadilan sipil.
  3. Kompetensi sipil.
  4. Otopsi psikologis dan criminal profiling.
  5. Hak asuh anak dan kelayakan orang tua (parental fitness).

Yang dimaksud dengan otopsi psikologis ialah kegiatan psikolog yang melakukan asesmen terhadap seseorang yang sudah meninggal. Asesmen ini diminta oleh pengadilan untuk mengetahui keadaan psikis orang itu sebelum meninggal. Selanjutnya dapat diketahui penyebab kematian – bunuh diri, kecelakaan, dan lain – lain. Ini dilakukan untuk menentukan wajib/tidaknya suatu perusahaan memberi kompensasi kepada keluarga korban.

Criminal profiling memiliki persamaan dengan otopsi psikologis. Keduanya sama – sama menentukan keadaan psikis atas data yang ditinggalkan seseorang. Pertanyaan dalam criminal profiling adalah siapa yang melakukan – pelaku belum diketahui. Perbuatan kriminal seringkali meninggalkan jejak. Criminal profiling bertujuan mencari pelaku dan penyababnya berdasarkan tanda – tanda yang ditinggalkan (Nietzel dkk., 1998).





Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Suprapti Slamet I.S. – Sumarmo Markam (Hal 182 – 186)

1 komentar:

  1. Terimakasih sudah berbagi ilmunya mas/mbak....sangat membantu proses perkuliahan saya

    BalasHapus

Popular Posts

 
Toggle Footer