TUJUAN PSIKOTERAPI HUMANISTIK - Kumpulan Materi
Breaking News
Loading...
Minggu, 03 September 2017

TUJUAN PSIKOTERAPI HUMANISTIK

Kumpulan MateriTujuan utama psikoterapi humanistic adalah untuk mendukung perkembangan aktualisasi-diri. kaum humanis percaya bahwa masalah psikologis – depresi, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan dan kebanyakan bentuk psikopatologi lain – adalah produk sampingan dari proses pertumbuhan yang terhambat. orang-orang yang mencari bantuan professional untuk masalah psikologis di dalam dirinya memiliki kapasitas dan kemauan untuk tumbuh kea rah sehat, tetapi, entah bagaimana, pertumbuhan mereka terganggu atau terdistorsi. tugas terapis humanistic adalah, melalui hubungan terapeutik, menciptakan sebuah iklim sehingga klien dapat mengembalikan pertumbuhan alamiah mereka kea rah kesehateraan psikologis.

Kalau semua orang sejak awal hidupnya dibimbing oleh kecenderungan aktualisasi diri, bagaimana kita bisa menemukan diri kita merasa depresi, cemas, atau bergulat dengan isu psikologis? jawabannya terletak di dalam fakta bahwa kebutuhan akan perhatian positif kadang-kadang dapat melampaui kecenderungan alamiah untuk mengaktualisasi diri. Artinya, ketika kita menghadapi pilihan dan/ atau antara menerima perhatian positif dari orang-orang penting di dalam kehidupan kita dan mengikuti kecenderungan alamiah kita sendiri, maka kita, berdasarkan kebutuhan tersebut, memilih perhatan positif.

Masalah timbul ketika perhatian positif ini bersyarat, bukan tanpa syarat. Perhatian positif bersyarat mengomunikasikan bahwa kita diberi hadiah “ hanya jika” kita memenuhi kondisi/syarat tertentu. jika Anda mempertimbangkan keluarga Anda sendiri atau keluarga sahabat masa kanak-kanak Anda, Anda barangkali dapat mendidentifikasi beberapa persyaratan yang bernilai yang ditetapkan orangtua pada anak-anaknya. Kondisi-kondisi ini tidak ditempelkan di kulkas sebagai daftar , tetapi bagaimanapun juga, dikomunikasikan berpakaian seperti yang kami suka, mengadopsi nilai-nilai kami, unggul dalam seterusnya. biasanya, anak-anak dapat merasakan syarat-syarat yang dituntut oleh orangtuanya untuk penerimaan mereka, dank arena mereka membutuhkan penerimaan orangtuanya, mereka berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Akan tetapi, di dalam prosesnya, mereka sering kali melenceng dari kencenderungan aktualisasi-dirinya sendiri, yang dapat membawa mereka ke arah lain. Jadi, ketika mereka membandingkan diri aktualnya-diri sejati mereka-dengan diri yang seharusnya mereka miliki jika mereka memenuhi potensinya sendiri – diri ideal – maka mereka melihat sebuah ketidaksesuaian. hmanis menggunakan istilah inkongruensi untuk mendeskripsikan ketidaksesuaian ini, dan mereka melihatnya sebagai akan psikopatologi. Sebaliknya, kongruensi – kesesuaian antara diri sejati dan diri ideal - dicapai jika aktualisasi diri dibiarkan membimbing kehidupan seseorang tanpa interferensi oleh persyaratan yang bernilai apa pun, dan, sebagai hasilnya, kesehatan mental teroptimalkan. Artinya, kongruensi terjadi ketika seseorang mengalami perhatian positif tanpa syarat dari orang lain. Tidak ada syarat “hanya jika” dibebankan pada mereka agar diterima, sehingga mereka bebas untuk berkembang dan tumbuh menurut kecenderungan aktualisasi-dirinya sendiri (Cain, 2010).

Penting untuk dicatat bahwa meskipun persyaratan yang bernilai awalnya berasal dari orang lain, mereka pada akhirnya dapat menjadi merasuk ke dalam pandangan kita tentang diri kita sendiri. Artinya, perhatian positif bersyarat dari orang lain melahirkan perhatian positif bersyarat terhadap diri sendiri, sementara perhatian positif tanpa syarat dari orang lain melahirkan perhatian positif pada diri sendiri yang tanpa syarat. Orang – orang yang penting di dalam hidup kita mengomunikasikan kepada kita tentang apa yang bisa dicintai, bisa diterima, atau “layak diberi penghargaan” tentang diri kita sendiri - diri secara keseluruhan atau hanya aspek – aspek tertentu dan diri kita dan akhirnya ktia mengadopsi pandangan tersebut di dalam evaluasi kita tentang diri kita sendiri.

Sebagai contoh prinsip-prinsip humanistic ini, simak Mark, seorang mahasiswa tahun pertama. Berbeda dengan teman-teman sekelasnya, yang belum memutuskan tentang jurusan atau jalur kariernya, Mark sudah sejak lama memutuskan bahwa ia ingin menjadi seorang pengacara. Selaam bulan pertamanya di kampus, ia mendeklarasikan kepada dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang calon mahasiswa jurusan hukum, memetakan rencana empat tahun untuk memasuki fakultas hukum, dan membuat daftar fakultas hukum yang ingin dilamarnya. Minat Mark di bidang hukum sangat didukung oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya sendiri, serta satu-satunya saudara kandung Marks, adalah pengacara yag mapan. selama masa kanak-kanak Mark, mereka sering berkomentar tentang potensi Mark sebagai seorang pengacara - “Dengan nilai-nilai bagus seperti ini, kamu bisa masuk fakultas hukum paling top di negeri ini”, “Menyenangkan sekali bahwa kelak kami akan bisa menyerahkan firma ini kepadanya - kelak ia pasti akan menjadi pengacara hebat”! Di berbagai titik selama masa kanak-kanaknya, Mark memperlihatkan minat pada kegaitan-kegiatan lain, seperti acting, olahraga dan jurnalisme, tetapi orangtuanya tidak pernah terlalu memberi perhatian pada kegiatan-kegiatan atau prestasinya di bidang tersebut. Mereka jauh lebih tertarik dengan kegiatan klub debatnya, yang mereka anggap sebagai precursor untuk karier hukumnya, dibandingkan pertandingan sepak bolanya, atau artikel-artikel Koran sekolah yang dibuatnya.

Di semester kedua, Mark mengambil kuliah sejarah seni untuk memenuhi persyaratan mata kuliah pilihan. Meskipun ia enggan untuk mengakui, ia sebenarnya menemukan dirinya sangat menikmati mata kuliah itu - jauh melebihi kuliah hukum. Selama waktu luangnya, ia asyik membaca buku teks mengenai sejarah seni dan melakukan pencarian online tentang topic-topik terkait. Ia bahkan meminjam beberapa bahan melukis dari teman sekamarnya dan mencoba melukis . Akan tetapi, ketika orangtuanya datang berkunjung, ia menyembunyikan minatnya di bidang seni ini. Ia merasa bahwa orangtuanya akan menolaknya dan, yang lebih signifikan, akan menolak dirinya jika mereka tahu bahwa ia sangt menyukai seni. Orangtuanya bahkan menegaskan bahwa penerimaan mereka atas dirinya bergantung pada pemilihan bidang hukum sebagai jalur kariernya, dan Mark merasa bahwa mereka tidak akan mendukungnya – secara emosional, secara financial, atau dengan cara lain - jika ia mengikuti minat intrinsiknya sendiri. Mark akhirnya menjadi seorang pengacara, dan meskipun ia mencapai kesuksesan, ia selalu tidak bahagia bahwa sisi seninya tidak pernah dibiarkan untuk tumbu. Faktanya, Mark kemudian menyadari bahwa sementara “cabang” hukum dari dirinya sendiri menerima banyak “sinar matahari”, banyak cabang lain telah terabaikan. Ketika ia membandingkan kehidupan nyatanya – sebagai seorang pengacara tanpa minat, kemampuan, atau keterampilan lain yang dikembangkannya – dengan diri ideal yang seharusnya dapat dicapainya, ia melihat ketidakkongruenan yang membuat merasa tidak puas dan tidak bahagia. Jika Mark ingin menemukan yang menghargainya “apa adanya” – seorang terapis humanistic, misalnya – ia mungkin akan lebih mampu melihat dirinya tanpa syarat, mengikuti kecenderungan aktualisasi dirinya sendiri, dan mencapai kongruensi yang lebih besar antara diri sejati dan diri idealnya.





Sumber: Pomerantz, A. M. (2014). Psikologi klinis: Ilmu pengetahuan, praktik dan budaya (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Hal 378-381).

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Toggle Footer