Kognisi dan fisiologis merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pengalaman dari emosi. Kognisi dan
fisiologis adalah Yin dan yang dari hasrat manusia. Kedua hal
tersebut saling mempengaruhi satu sama lain secara terus menerus: Kognisi
mempengaruhi emosi dan kondisi emosi mempengaruhi kognisi (Gray, 2004). Sebagian
contoh, menyalahkan seseorang atas masalah yang anda hadapi akan menyebabkan
anda merasa marah, dan begitu anda merasa marah, anda akan semakin terdorong
untuk memikirkan hal – hal negatif tentang orang lain.
Beberapa emosi hanya membutuhkan
kognisi yang minimal dan sederhana atau merupakan perasaan primitif yang muncul
pada alam bawah sadar (Winkielman dan Berridge, 2004). Respons setimental yang
terkondisi terhadap simbol – simbol patriotik, respons jijik yang terkondisi
terhadap seekor cacing, dan perasaan yang bersahabat terhadap seseorang yang
familiar, merupakan reaksi sederhana yang tidak disadari (lzard, 1994a; Murphy,
Monahan, dan Zajonc, 1995). Emosi – emosi primitif yang terdapat pada bayi
tidak memiliki banyak kecanggihan mental semacan itu: “Hey, saya marah, karena
tidak ada seorang pun yang memberikan susu kepada saya!”
Sejala dengan perkembagan cerebral cortex pada anak, kognisi dan
emosi akan menjadi lebih kompleks: “Hey, saya marah karena situasi ini sangat
tidak adil!” Beberapa emosi bergantung sepenuhnya pada perkembangan kedewasaan
dari kapasitas kognisi yang lebih tinggi. Sebagian contoh, perasaan malu dan
bersalah pada anak – anak tidak akan muncul hingga anak berkembang malaui hidup
Infoncy, karena emosi – emosi ini
memerlukan keberadaan konsep mengecewakan orang lain (Baumeister, Stillwell,
dan Heatherton, 1994; Tangney dkk, 1996).
Akibat adanya penrgeseran yang
konstan pad akognisi kita saat kita berinteraksi dengan orang lain, emosi kita
juga mengalami perubahan serupa. Hal ini merupakan salah satu penyebab rumitnya
respons emosional dalam kehidupan nyata. Richard Lazarus (2000a)
mendeskripsikan pertengkaran yang terjadi antara sepasang suami istri saat
sarapan. Sang istri tidak membuatkan jus segar seperti biasanya, dan saat sang
suami menanyakan hal itu, sang istri (yang merasa kesal karena suaminya pulang
pada malam sebelumnya dengan mood
yang tidak menyenangkan), mengatakan pada suaminya, “You can make your own (bikin saja sendiri). Sang suami merasa
tersinggung dan meninggalkan meja makan dengan mendongkol, yang membuat
istrinya. Saat itulah sang istri menyadari alasan suaminya menjadi sangat
menyendiri pada malam sebelumnya. Ia dipenuhi perasaan bersalah, dan kemudian
meminta maaf atas perilakunya.
Perhatian betapa banyak emosi
yang muncul dan menghilang selama interaksi yang singkat tersebut, bergantung
pada pemikiran yang terjadi baik pada suami maupun pada istri marah, rasa
bersalah, kecemasan, sakit hati, dan empati. Saat suami atau istri tersebut
merasa pasangannya marah, saat masing -
masing memahami alasan perilaku pasangan
mereka, kemarahan tersebut sirna.
Fakta – fakta yang menunjukkan
bahwa berpikir dapat mempengaruhi emosi menunjukkan suatu hal yang mengesankan.
Saat seseorang berada dalam kondisi emosi yang tidak menyenangkan, mereka dapat
mengubah perasaan tersebut, dengan menganalisis ulang situasi dan persepsi
mereka terhadap situasi tersebut (Gross dan John, 2003). (Seperti yang akan C
pada mata kuliah biologi, benarkah dunia akan kiamat? Benarkah tidak ada
seseorang pun yang mencintai anda? Benarkah anda ditakdirkan hidup melajang
selamanya? Bila suatu waktu anda mendapai anda berpikir semacam itu, ujilah pikiranmu
tersebut secara kritis: Adakah bukti – bukti yang mendukung atau menentangnya? Pada
kasus – kasus tersebut, emosi bukanlah faktor yang menghambat kemampuan
berpikir kritis. Kegagalan berpikir kritislah yang menciptakan emosi – emosi tersebut!
Pengalaman emosional yang
bersifat pribadi kemudian dikombinasikan dengan pikiran dan tubuh, namun masih
ada satu bagian dari pohon emosi yang hilang. Pikiran dapat mempengaruhi emosi,
namun dari manakan pikiran – pikiran tersebut berasal? Seorang pria yang menari
diatas meja sebuah restoran dengan memakai tutup lampu dikepalanya akan
dipandang “memalukan” demikian pula seorang wanita yang berjalan di jalanan
umum tanpa menutupi bagian dadanya juga dipandang “memalukan” berasal? Apabila anda
memukul tembok saat sedang marah, dari manakan anda belajar mengekpresikan perasaan
anda dengan cara tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut,
kita akan beralih pada aspek utama yang ketiga dari pengalaman emosional: peran
budaya .
Sumber: Psikologi, edisi kesembilan, jilid 2. Carole Wade.
Carol Travris (Hlm: 125 – 126)
0 komentar:
Posting Komentar