Telah diutarakan bahwa gangguan jiwa berhubungan dengan masalah penyesuaian diri, yakni bahwa gangguan terjadi
karena adanya kekurangan dalam kualitas penyesuaian diri atau terjadi karena
adanya kekurangan dalam kualitas penyesuaian diri atau telah kesalahan penyesuaian
diri atau maladaptive. Dalam hal ini,
dilihat dari sudut perkembangan kepribadian telah terjadi proses perkembangan
yang kurang lancar sehingga masih belum melahirkan kepribadian yang matang,
sesuai dengan taraf usianya. Karena itu, abnormalitas bersinonim dengan
maladaptif. Penyesuaian diri yang kurang ini mempunyai kaitan juga dengan taraf
perkembangan, sehingga suatu bentuk penyesuaian diri dapat dianggap normal
untuk usia tertentu dan tidak normal untuk usia lainnya. Sebagai contoh, seorang
anak kecil mengambil kue tanpa minta ijin atau bertanya siapa pemiliknya, dapat
dianggap wajar saja, normal, tetapi kalau orang dewasa melakukan hal tersebut
dapat dianggap sebagai tidak wajar. Dengan perkembangan lain, dinyatakan bahwa
gangguan kejiwaaan ditandai dengan perilaku maladaptif, dan maladaptif terjadi
ketika orang melakukan tindakan yang tidak sesuai degnan umumnya. Pendapat ini
mengacu pada kriteria tentang tingkatan IQ.
Terdapat keberatan atas konsep
ini, yakni bahwa dalam terapannya kepribadian yang kurang matang lebih
bersesuaian dengan perilaku sosial yang kurang sesuai dengan harapan sosial
saja, atau dalam diagnosis masa kini disebut sebagai gangguan kepribadian. Jenis
gangguan lainnya tidak terakomodasi oleh konsep ini.
Coleman dan Broen, 1972,
telah mengidentifikasi tujuh ciri gangguan atau kekurangan, dengan dasar
pemikir 7 ciri perkembangan kepribadian sebagai berikut:
- Dari tergantung ke pengaturan diri (Dependence to self – direction). Seorang anak yang baru lahir, sebagai contoh ekstrim, seluruh kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh usaha – usahanya sendiri melainkan perlu bantuan orang lain. Ia tidak mandiri; tetapi kalau sudah dewasa maka ia dapat menentukan sendiri arah tingkah laku dan kehidupannya.
- Dari kesenangan ke realitas/pengendalian diri (Pleasure to reality/self – control). Seperti dikemukakan Freud, pada saat masih sangat kecil orang hanya mementingkan kesenangan saja. Bahkan bisa ditambahkan, kesenangan saat ini di sini. Tapi makin bertambah umumnya, orang harus lebih mempertimbangkan realitas atau tuntutan – tuntutan kenyataan. Hal ini juga menggambarkan bahwa seorang yang kekanak – kanakan, padahal telah dewasa, akan lebih banyak kerkhayal, berfantasi dari bertindak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
- Tidak tahu ke tahu (ignorance to knowledge). Para saat bayi, orang dapat dikatakan tidak tahu apa – apa sama sekali. Tetapi sejalan dengan pertambahnya usia, pengalaman, dan pengetahuannya bertambah, sehingga bisa menjadi seorang segala tahu dan segala bisa. Pengetahuan itu diperlukan sebagai referensi untuk pemikiran (pendapat), sikap, dan tingkah lakunya.
- Tak mampu (incompetence to competence). Dalam perjalanan hidupnya, seseorang akan bertambah dalam kemampuan atau kompetensinya, baik yang bersifat intelektual, emosional, sosial, dan kompetensi lainnya. Dalam ranah intelektual, ia menjadi lebih banyak tahu dan terampil untuk memecahkan permasalahan. Dalam ranah emosional, seorang yang telah matang akan mampu untuk mengendalikan emosi, seorang yang telah matang akan mampu untuk mengendalikan emosi, perasaan, atau tingkah lakunya. Dalam bergaul dengan berbagai macam akan makin sosiabel, makin pandai bergaul dengan berbagai macam pribadi dan minat orang, makin memahami tuntutan sosial terhadap dirinya, tetapi juga makin tahu lingkungan sosial mana yang pantas ia masuki dan mana yang tidak.
- Seksualitas yang kabur ke heteroseksualitas (diffuse sexuality to heterosexuality). Pada awalnya terdapat kekaburan dan generalisasi dalam seksualitas. Makin dewasa, anak makin tahu perbedaan antara laki – laki dan perempuan. Pada tahap berikut adalah lebih memahami fungsi yang berbeda dan bagaimana harus menyikapi dan memperdulikan perbedaan seksualitas bagaimana harus menyikapi dan memperlakukan perbedaan seksualitas itu, perkawinan juga merupakan tanda – tanda kedewasaan. Saat ini terdapat berbagai peningkatan dalam wacana seksualitas ini, dalam apa yang disebut dengan masalah gender dan kesamaan (equity) yang berdampak besar pada hampir semua sisi kehidupan. Kearifan manusia makin teruji.
- Amoral ke moral (immoral to moral). Makin muda manusia makin kurang memperhatikan moralitas. Demikian, maka bayi yang baru lahir tidak memiliki moral, amoral, karena ia menuntut untuk setiap hal yang memberinya rasa senang, khususnya fisik, tidak peduli, bagaimana cara pemenuhannya, bahkan tidak peduli apakah keinginan itu wajar atau tidak. Bahkan pada tarif keinginan pun moralitas dapat terlihat. Masalah buruk dan baik, berdosa atau berpahala, muncul dalam orang dewasa, tidak dalam alam pikiran dan kehidupan anak kecil atau bayi.
- Berpusat pada diri sendiri ke kepada orang lain (self – centered to other – centered). Hal ini terutama bersangkutan dengan kehidupan sosial, dimana pada awalnya manusia lebih menjadikan kebutuhan diri sebagai petokan pikiran, sikap, dan tindakannya. Berikutnya seolah – olah membagi rata antara kebutuhan diri dan kebutuhan orang lain. Pada usia lebih lanjut, umumnya orang mementingkan orang atau pihak lain. Misalnya seorang pejabat negara, akan lebih mementingkan rakyatnya daripada dirinya sendiri.
Selanjutnya, saya penulis merasa
perlu untuk mengemukakan pendapat yang mungkin bisa dikaji dan dipertimbangkan
sebagai tambahan atas pendapat Coleman dan
Broen itu, yakni:
Dari di sini dan sekarang ke arah masa depan (anticipation). Yang dimaksudkan, adalah bahwa salah satu ciri perkembangan, adalah daya antisipasi dari yang sangat pendek (here and now) sampai jauh ke depan. Anak kecil memenuhi kebutuhan saat ini di sini, sedang orang dewasa akan lebih memperhatikan kebutuhannya di masa depan. Seorang anak lebih senang bermain – main daripada bersekolah, sedangkan orang dewasa bisa saja mengabaikan kebutuhan dan kesenangannya hari ini untuk mencapai keberhasilan di masa depan.
Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Edisi revisi. Prof. Dr.
SUTARDJO A. WIRAMIHARDJA, Psi. (Hlm. 45 – 47)
0 komentar:
Posting Komentar