Terdapat beberapa keadaan mental
yang secara khusus perlu mendapat perhatian, yaitu “sehat mental”, “mental tak
sehat”, dan “sakit mental”. Sehat mental secara umum dapat diartikan sebagai
kondisi mental yang tumbuh dan didasari motivasi yang kuat ingin meraih
kualitas diri yang lebih baik, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan
kerja/profesi, maupun sisi kehidupan lainnya. Orang yang disebut memiliki
kemampuan, tetapi tidak punya keinginan dan usaha untuk mengaktualisasi potensi
itu secara optimal. Sementara orang yang disebut sakit mental adalah orang yang
secara mental memiliki berbagai macam unsur yang saling bertentangan dan dengan
demikian, sering merusak atau menghambar, sehingga perilakunya tidak menentu.
Beberapa definisi dan pengertian
sehat mental dapat dikemuakakn pada kesempatan ini sebagai berikut:
- World Federal for Mental Health, para tahun 1948 dalam konverensinya di London mengemukakan bahwa sehat mental adalah suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dan aspek emosional yang cukup mantap atau stabil, sehingga perilakunyat tidak mudah bergoncang oleh situasi yang berubah di lingkungannya, tidak sekedar bebas atau tidak adanya gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungan.
- Karl Menninger, seorang psikiater mendefinisikan sehat mental sebagai penyesuaian manusia terhadap lingkungannya dan orang – orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang optimal. Tidak sekedar efisiensi atau sekedar kegembiraan atau ketaatan atas aturan permainan. Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara watak, inteligensi yang siap untuk digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia.
- HB. English, seorang psikologi, menyatakan sehat mental sebagai keadaan yang secara relatif menetap di mana seseorang dapat menyesuikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara, dan berusaha untuk mencapai aktualisasi diri atau realitas diri yang optimal. Hal ini merupakan keadaan yang positif dan bukan sekedar tidak adanya gangguan mental.
- W.W Boehm, seorang pekerja sosial menyatakan bahwa sehat mental adalah kondisi dan taraf pemfungsian sosial diterima secara sosial dan memberikan kebahagiaan secara pribadi.
- Coleman dan Broen, Jr. menyatakan ada enam sifat orang yang sehat mental sebagai berikut:
- Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positif attitude toward self), seperti menekankan pada penerimaan diri, identitas diri yang adekuat, penghargaan yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
- Persepsi atas realitas (perception of reality), yaitu pandangan realitas atas diri sendiri dan dunia, orang serta benda – benda yang nyata ada di lingkungannya.
- Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, bebas dari ketidakmampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict), dan toleransi yang baik terhadap stress.
- Kompetensi, ialah adanya perkembangan kompetensi, baik fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah – masalah kehidupan. Kompetensi mengandung pengetahuan keterampilan, sikap, dan perilaku yang sesuai dan memadai.
- Otonomi, yakni keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri yang adekuat, bersama - sama dengan kemandirian yang memadai menyangkut pengaruh sosial.
- Pertumbuhan atau aktualisasi diri, yakni menekankan pada kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
- Killander, pada tahun 1957 mengidentifikasi orang yang mentalnya sehat dengan apa yang disebutnya sebagai individu yang normal. Mereka adalah orang – orang yang memperlihatkan memiliki kematangan emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain. Dan memiliki filsafat atau pegangan hidup pada saat itu ia mengalami komplikasi kehidupan sehari – hari sebagai gangguan.
Ciri – ciri individu yang
memiliki sehat mental seperti dikatakan oleh Killander itu tampaknya sederhana tetapi seringkali sukar terlihat
dalam kenyataannya sehari – hari. Untuk itu, perlu dikemukakan rincian
pengertian ciri – ciri tersebut sesuai dengan maksudnya sebagai berikut:
Kematangan Emosional
Terdapat tiga dasar emosi, yaitu cinta, takut, dan marah. Kita mencintai
hal yang membuat kita senang, takut kalau ada hal yang mengancam rasa aman
kita, dan marah kalau ada yang mengganggu atau menghambat jalan dan usaha untuk
mencapai apa yang kita inginkan. Ketiga dasar emosi ini diturunkan dan bersifat
universal.
Terdapat tiga ciri perilaku dan
pemikiran pada orang yang emosinya disebut matang, yaitu disiplin diri, determinasi diri, dan kemandirian. Seorang yang memiliki disiplin diri dapat mengatur
diri, hidup teratur, menaati hukum dan perturan. Orang yang memiliki
determinasi diri akan dapat membuat keputusan sendiri dalam memecahkan suatu
masalah dan melakukan apa yang telah diputuskannya. Ia tidak mudah menyerah dan akan menganggap
masalah baru lebih sebagai tantangan daripada sebagai ancaman. Individu yang
mandiri akan berdiri di atas kaki sendiri. Ia tidak banyak menggantungkan diri pada
bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan diri pada
kemampuan – kemampuan dan kekuatan sendiri.
Kemampuan Menerima Realitas
Adanya perbedaan antara dorongan,
keinginan, dan ambisi di satu pihak serta peluang dan kemampuan di pihak
lainnya, adalah hal biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan menerima
realitas antara lain memperlihatkan perilaku mampu memecahkan masalah. Dengan
segera dan menerima perilaku mampu memecahkan masalah dengan segera dan
menerima tanggung jawab. Bahkan kalau memungkinkan, tidak sukar untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan, terbuka untuk pengalaman dan gagasan baru,
membuat tujuan – tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai
merasa puas atas hasil usahanya tersebut. Selain itu, mereka juga tidak terlalu
banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yang
tidak tepat ketika menghadapi masalah yang mengganggunya atau yang tidak ia
kehendaki. Penggunaan mekanisme pertahanan diri adalah perilaku yang bersifat
palivatif, ialah membangun situasi “seolah – olah” menyelesaikan masalah,
padahal tidak. Oleh karena itu, masalahnya tidak akan hilang, melainkan justru
berkembang.
Hidup Bersama Dan Sama Dengan Orang Lain
Hal ini menyangkut hakekat
dirinya sebagai makhluk sosial (Homo
Socius), yang tidak sekedar mau dan bersedia serta mampu bekerja sama untuk
mencapai prestasi yang lebih tinggi daripada dikerjakan sendiri, melainkan juga
karena tidak dapat bertahan hidup sendiri. Manusia adalah makhluk solider,
bukan soliter.
Ciri normal secara sosial ini
antara lain terlihat pada adana kemampuan dan kemauan untuk
mempertimbangkan minat dan keinginan
orang lain dalam tindakan – tindakan sosialnya, mampu menemukan dan
memanfaatkan perbedaan pandangan – pandangan dengan orang lain, dan mempunyai
tanggung jawab sosial serta merasa bertanggung jawab terhadap nasib orang lain.
Memiliki Filsafat atau Pandangan Hidup
Yang dimaksud dengan memiliki
falsafat hidup adalah memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa
membimbingnya untuk berada dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi
atau berada dalam situasi yang mengganggu atau membebani. Falsafah hidup ini
memiliki dua muatan utama, yaitu makna hidup dan nilai hidup. Jadi, orang yang
sehat mental senantiasa dibimbing oleh makna dan nilai hidup yang menjadi
pegangannya. Ia tidak akan terbawa begitu saja oleh arus situasi yang
berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang
bersifat sesaat.
Dari berbagai definisi yang
dikemukakan di atas dan definisi – definisi lain yang tidak sempat dikemukakan
di dalam tulisan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku sehat atau mental
sehat ialah perilaku yang dilandasi oleh emosionalitas yang stabil dan dewasa,
motivatsi atau kemampuan yang terarah dan bersumber dari diri sendiri,
sosiabilitas yang kokoh, persepsi yang realistis, dan makna serta nilai hidup
terbaik yang dimilikinya.
Secara umum dapat pula dikemukakan,
bahwa masalah normal dan abnormal ini dikaitkan dengan pendekatan dalam psikologi yang makin lama makin “lengkap” tetapi juga bisa makin tidak jelas
karena rumit. Dalam pendekatan ini, dimulai dari sisi biologis yang dikenal
dengan psikologi biologis, biopsikologis, biopsikososial yang sering disebut
pendekatan integratif, dan biopsikososiokultural. Ada yang berpendapat, bahwa
tidak ada perbedaan hakiki antara biopsisosial dan biopsikososiokultural,
karena dalam sosial terdapat kultural. Dengan berbagai pendapat itu, maka yang
disebut normal dan abnormal dikaitkan dalam aspek – aspek termaksud.
Namun perlu pula dikemukakan,
bahwa setiap pendekatan tentulah meliputi seluruh sisi kehidupan ang menunjang.
Kalau disebut atau menyebut diri psikolosi biologis, maka yang dimaksud adalah
bahwa penekanan terdapat pada sisi biologis, tetapi sisi lain yang berpengaruh
tidak dengan sendirinya diabaikan. Misalnya dalam psikologi medis atau medical psychology, yang menyampaikan
kondisi pasien adalah psikolog, bukan oleh dokter, ini jelas mempertimbangkan
aspek sosiokultural, tidak sekedar fakta modis biologis semata – mata.
Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Edisi revisi. Prof. Dr.
SUTARDJO A. WIRAMIHARDJA, Psi. (Hlm. 47 – 51).
0 komentar:
Posting Komentar