KETERAMPILAN KLINIS YANG TEPAT GUNA SECARA KULTURAL - Kumpulan Materi
Breaking News
Loading...
Kamis, 07 September 2017

KETERAMPILAN KLINIS YANG TEPAT GUNA SECARA KULTURAL

Kumpulan MateriSetelah psikolog mendapatkan pengetahuan kultural tentang dirinya sendiri dank lien, langkah berikutnya adalah mengembangkan strategi yang cocok untuk penilaian dan penanganan. Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan dan teknik-tenik yang digunakan seorang psikolog untuk memperbaiki kehidupan seorang klien seharusnya sesuai dengan nilai-nilai dan pengalaman hidup klien yang bersangkutan (Hall, Hong, Zane & Meyer, 2011; Hwang, 2011; Toporek, 2012). “Terapi bicara” mungkin cocok untuk banyak kelompok budaya, tetapi bagi beberapa kelompok budaya mungkin tidak cocok. Serupa dengan itu, klien dari beberapa budaya mungkin menganggap penting “wawasan” tentang masalah psikologis mereka, yang diperoleh selama berbulan-bulan, tetapi klien dari budaya-budaya yang lain mungkin merespons secara jauh lebih positif pada terapi berorientasi-tindakan dengan fokus jangka-pendek. fitur-fitur lazim lain dari psikoterapi tradisional, teramsuk mengungkapan sendiri secara verbal tentang berbagai masalah pribadi dan sesi 50-menit di dalam sebuah gedung perkantoran, mungkin sama sekali tidak cocok dengan klien dari latar belakang budaya tertentu (Comas-Diaz, 2012).

Salah satu keterampilan klinis yang tepat guna secara cultural yang menerima lebih banyak perhatian selama beberapa tahun terakhir melibatkan mikroagresi. mikroagresi adalah komentar atau tindakan di dalam konteks lintas budaya yang menunjukkan keyakinan prasangka, negative, atau stereotipikal adanya mungkin menunjukkan dominasi atau superioritas sebuah kelompok atas kelompok lain (Fouad & Arredondo, 2007; Sue, 2010; Sue dkk., 2007). Sering kali, mikroaresi ini adalah “hal-hal kecil” yang mungkin dikatakan seseorang pada orang lain tanpa maksud bermusuhan atau tanpa menyadari bahwa komentar itu mungkin mengivalidari atau menghina - tetapi, pada kenyataannya demikian. Mikroagresi sering berpusat pada etnisitas atau ras (misalnya, Franklin, 2007; Sue, Capodilupo & Holder, 2008), tetapi mungkin juga melibatkan sejumlah perbedaan di antara orang-orang, seperti umur, gender, status sosial ekonomi, agama/spiritualitas atau orientasi seksual. Sebagai contoh, perhatikan seorang psikolog yang, selama wawancara awal dengan seorang mahasiswa laki-laki berumur 19 tahun menanyakan, “Apakah Anda mempunyai pacar (girldfriend)”? Pertanyaan “girlfriend” itu dapat mengomunikasian asumsi di pihak psikolog bahwa hubungan heteroseksual adalah normal atau apa yang diharapakan atau apa yang dianggpa “benar”. Terutama jika kliennya gay atau biseksual, pertanyaan semacam itu dapat memiliki konsekuensi negative dalam kaitannya dengan pembentukan hubungan terapeutik yang seharusnya klien merasa dihargai dan diterima. Atau jika seorang psikolog bertemu dengan seorang klien terapi berumur 7 tahun pada 27 Desember dan menanyakan, “Jika apa yang dibawa Santa Klaus untukmu”? anak itu mungkin merasa direndahkan jika ia Muslim, Yahudi, Buddha, atau tidak merayakan Natal. Cara terbaik bagi psikolog untuk menghindari mikroagresi adalah menelaah pikiran dan keyakinan yang mendasarinya, yang dapat menghasilkan kerendahhatian dan kesadaran diri yang lebih tinggi di pihak psikolog (Vasquez 2010). (Tautan Web 4.5 Mikroagresi.)

Upaya –upaya terkini ke arah pencapaian keterampilan klinis yang tepat guna secara cultural menekankan pada gagasan adaptasi cultural terhadap penanganan dengan bukti-bukti empiris untuk mendukungnya (Bernal, Jimenez Chafey, Rodriguez, 2009; Smith, Rodriguez & Bernal, 2011). Dengan kat alain, setelah psikologi klinis menghasilkan daftar penanganan-penanganan ini mungkin perlu diadaptasikan untuk anggota dari beragam budaya (Castri, Barrera & Steiker, 2010; Mulvaney-Day, Early, Diaz-Linhart & Alegria, 2011). (Selain, itu, banyak di antara studi yang menghasilkan dukungan empiris bagi penanganan – penanganan berbasis bukti dilakukan pada klien-klien yang rentang cultural kolektifnya sangat sempit.) Sebagai contoh, La Roche, Batista dan D’Angelo (2011) menelaah sejumlah besar skripsi imajinasi – intruksi – intruksi yang dibacakan atau direkam psikolog bagi klien ketika mereka mencoba menginduksi relaksasi Sering kali skrip ini memasukkan pernyataan seperti, “Bayangkan diri Anda sendirian di pantai yang tenang” atau “Bayangkan diri Anda sendiri sedang berada dipadang rumput yang indah”. Situasi-situasi semacam itu sangat “solo”-dengan kata lain, lingkungan yang menggambarkan keindahan alam itu melibatkan klien yang sendirian. Di banyak etnisitas, adegan yang kelibatkan perasaan kebersamaan atau keterhubungan dengan orang lain mungkin lebih dapat menangkap relaksasi atau kebahagiaan – melalui kalimat, “Bayangkan diri Anda berada di antara orang-orang yang positif dan membuat Anda merasa nyaman dengan diri Anda sendiri”. La Roche dkk. menemukan bahwa skrip imajinasi menekankan sebuah orientasi “solo” (atau idiosentrik”), bukan orientasi “bersama” (atau alosentrik), yang mungkin tidak konsisten dengan nilai-nilai budaya dari banyak klien. Mereka merekomendasikan agar klinisi yang menggunakan teknik semacam itu mengembangkan keragaman skrip imajinasi, termasuk yang aloesentik, dan tidak menyodorkan skripsi idesentrik kepada semua klien. Adaptasi semacam ini - ketika klinisi mempertimbangkan bagaimana klien yang beragam mererespons dengan cara berbeda terhadap penanganan standar (sering kali berbasis bukti), versus penanganan yang disesuaikan baginya – mulai muncul (Gelso, 2011).









Sumber: Pomerantz, A. M. (2014). Psikologi klinis: Ilmu pengetahuan, praktik dan budaya (3rd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Hal 105 – 107)

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Toggle Footer