Karena forensik sering dianggap
sebagai ahli dalam perilaku, tidnakan mengherankan kalau, mereka dianggap ahli
yang dapat memberikan keterangan tentang perilaku apapun yang bersangkutan
dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan polisi, jaksa,hakim dan
lain-lain. Kemudian pemahaman ini berkembang menyangkut segala perilaku yang
berhubungan dengan masalah-masalah masyarakat, kriminal, atau pengadilan
administratif. selanjutnya, masalah-masalah demikian menjadi psikologis klinis
dan sekarang disebut “psikologi forensik”.
Psikologi forensik merupakan
metode, teori, dan konsep psikologi terhadap sistem hukum (Wrightman, Nietzel,
dan Fortene, 1998). Bidang psikologi ini mula-mula dikembangkan berdasarkan
pikiran seorang ahli, yang bisa disebut sebagai Bapak Psikologi Industri dan Organisasi, lulusan Laboratorium
Psikologi Leipzig yang didirikan dan dipimpin Welhelm Wundt. Ia menulis buku On
the Witness Stand, 1908. Namun sebelumnya ada kegiatan penelitian yang
dilakukan oleh tokoh psikologi terkenal. William
Strern, 1901., mengenai daya ingat yang dihubungkan dengna masalah
kesaksian seseorang atas suatu peristiwa kriminal. Dalam bukunya itu, Munsterberg menganggap para pejabat di
bidang peradilan itu perlu untuk menggunakan tenaga ahli, bukan orang-orang
yang hanya menggunakan tenaga ahli, bukan orang-orang yang hanya menggunakan akal sehat (common sense) saja. Namun, pendapat itu dianggap sebagai arogansi
seorang psikolog, dan telah mencemarkan nama baik pengadilan. Alasannya, adalah
bahwa peristiwa pengadilan adalah kenyataan sedangkan yang diajukan psikologi
itu lebih sebagai gejala laboratorium. Hal ini dikemukakan oleh seorang guru
besar di bidang hukum. John Wigmore,
pada tahun 1909. Bahkan masalah ini telah berlanjut di pengadilan dengna
kekalahan di pihak Munsterberg.
Karena itu, untuk jangka waktu yang lama psikologi tidak dapat “menyentuh”
pengadilan. Namun 30 tahun kemudian, Wigmore
melunakkan serangannya, dan menganggap perlu untuk menerima psikologi di
pengadilan dengan harapan didapatnya keterangan yang lebih sehat, akurant, dan
praktis.
Baru pada tahun 1954 secara resmi
psikologi mendapat sedikit peluang memasukkan wilayah hukum ini, di mana
Kejaksaan Agung mulai memperhaitkan ilmu-ilmu sosial, termasuk Psikologi. Dari
pada 1962 seorang hakim Amerika Serikat, Bazelon,
menulis buku yang menyatakan bahwa psikologi yang berkualitas dapat memberikan
kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.
Kini, psikologi forensik telah
merupakan bidang kajian populer dan peranan psikologi dalam pengadilan,
termasuk proses yang mengawali, dan dalam semua bidang, pidana maupun perdata
keluarga maupun perusahaan.
Terdapat masalah-masalah
profesional yang terkait dengna peranan psikologi forensik, yakni masalah
pelatihan (training) dan etika serta
standar (ethics and standart). Dalam
hal pelatihan untuk menjadi ahli psikologi forensik, Poytress, 1979, menganggap
bahwa para calon haruslah familiar
dengan pengujian dan konsep legal, asesmen kelayakan, pengetahuan itu, para
calon harus memenuhi pengantar survei lapangan, seminar-seminat dengan topikpsikologi forensik, dan bidang penempatan dalam perangkat forensik. Menambah pengetahuan
mengenai Psikologi Klinis secara umum, mereka harus mendapat keahlian dalam
bidang hukum sehingga kesaksian, konsultasi, dan riset mereka memadai. Secara meningkat,
departemen akademik menawarkan pelajaran forensik.
Dalam masalah etika dan standar,
disamping standar dan etika yang umum, ilmuwan di bidang forensik harus
mengikuti code Akademik Amerika mengenai ilmu-ilmu forensik (Blau, 1998). Kode ini
menekankan pada:
- Kelengkapan dan keakuratan dalam menyatakan kualifikasi profesional seseorang.
- Akurasi dan kejujuran teknis dan ilmiah dalam membuat laporan dan kesaksian.
- Tidak memihak.
Sumber:
Pengantar Psikologi Klinis.
Edisi revisi. Prof. Dr. SUTARDJO A. WIRAMIHARDJA, Psi.
0 komentar:
Posting Komentar