Informasi yang telah dikumpulkan dalam asesmen klinis digunakan untuk menunjang keputusan – keputusan dan berbagai area tindakan, seperti penyaringan dan diagnosis, evaluasi dan intervensi, serta riset. Secara singkat, Korchin (1976), mengemukakan bahwa asesmen klinis ini dibutuhkan untuk membuat keputusan yang didasari informasi yang dapat diandalkan. Adapun alasan penyelenggaraan asesmen, menurut Kendall, adalah penyaringan dan diagnosis, evaluasi atau intervensi klinis yang telah dilakukan, dan riset.
Juga perlu mendapat tekanan bahwa
suatu asesmen diselenggarakan dengan sasaran tertentu, sehingga alat yang
digunakan pun terbatas sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini perlu diingat karena
adanya tes atau asesmen kepribadian sering disalahartikan menjadi asesmen yang
akhirnya pelaku asesmen mengetahui segala hal dari klien, termasuk yang tidak
berhubungan dengan tujuan pemberian asesmen itu.
Yang akan dikemukakan adalah
alasan asesmen secara umum yang terdiri atas tiga jenis atau macam maksud,
sebagai berikut:
Penyaringan Dan Diagnosis
Fungsi penyaringan dalam asesmen
meliputi kegiatan memilih dan mengelompokkan orang, menggunakan kemampuan
klinikus untuk mengembangkan metode (asesmen), mengumpulkan dara, dan membuat
keputusan yang canggih. Misalnya, untuk memudahkan seleksi dalam menentukan
kecocokan orang bagi program intervensi spesifik. Maka asesmen dapat digunakan
untuk memilih klien mana yang paling sesuai untuk mengikuti program penyembuhan
baru yang telah dibangun di suatu rumah sakit.
Pengetahuan yang didapat dari
asesmen klinis dapat juga digunakan untuk keperluan selanjutnya dengan maksud
menentukan diagnosis yang akurat. Diagnosis mengidentifikasi masalah spesifik
klien dan diarahkan pada usaha mengomunikasikan secara efisien informasi
tentang individu tertentu kepada profesional lain, sehingga keputusan yang
dibuat mengenai cara terbaik untuk melayani klien dibuat berdasarkan informasi
yang akurat.
Asesmen klinis juga merupakan hal
penting dalam menentukan jenis dan taraf gangguan jiwa secara hukum. Dalam hal
ini yang disebut diagnonis adalah ditentukan atau ditemukannya proses
terjadinya gangguan, dan termasuk kelompok atau jenis apakah penyakitnya itu.
Dengan diangnosis itu, pengadilan dapat menentukan hukuman apa yang dapat dan
efektif diberikan kepada seorang terdakwa. Jadi, dasar pertimbangan tidak
semata – mata obyektif dan berlaku umum, karena hukuman antara lain dimaksudkan
agar terhukum tidak melakukan kesalahan, antara lain yang sama, di kemudian
hari.
Evaluasi Atas Intervensi Klinis
Tanpa asesmen, klinikus pada
umumnya tidak dapat mengevaluasi efek intervensi klinis. Data dapat dihimpun
melalui asesmen untuk menentukan kekuatan, kelemahan, dan keparahan
permasalahan psikologis klien, pada sebelum, saat, dan setelah intervensi
diselenggarakan. Misalnya, klien yang mengalami depresi karena perceraian,
dapat diases mengenai berapa besar tingkat keparahan depresi atau kecemasannya
itu, tetapi, setelah ulang untuk melihat adakah peringanan gangguan sebagai
akibat diberikannya penganggulangan yang telah dilakukan dan apakah saat ini ia
boleh melakukan rawat jalan.
Dalam melaksanakan salah satu
peranannya sebagai “mental tester”
psikolog klinis dapat menerima permintaan psikiater untuk melaksanakan asesmen
kepada kliennya, untuk menentukan apakah pasiennya sudah dapat dinyatakan
sembuh dan boleh meninggalkan rawat inap atau belum. Namun, perlu juga
dikemukakan, bahwa dalam situasi tersebut, seorang prikiater tetap bertanggung
jawab atas tingakannya menahan atau memulangkan pasiennya. Saran psikolog hanya
salah satu pertimbangan saja, bukan satu – satunya.
Riset
Hal yang sangat esensial bagi
semua kegiatan riset adalah asesmen atas perubahan – perubahan (variables) yang digunakan dalam
investigasi. Dalam riset, asesmen dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang
spesifik dalam menangani baik perilaku normal maupun abnormal atau mengalami
disfungsi psikologis, dan dirancang untuk mendapatkan informasi baru yang dapat
meningkatkan pemahaman kita mengenai pemfungsian manusia. Misalnya, efek
pornografi terhadap kejadian perkosaan atau moralitas komunitas tidak dapat
ditentukan kalau kita tidak mengases semua pengubah yang terlibat.
Riset juga digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan dan kelemahan instrumen asesmen yang ada, dan mengembangkan
metode asesmen baru yang dapat digunakan di kemudian hari (Kendali, 1982).
Terdapat perbedaan yang tidak
begitu esensial tetapi penting dalam membedakan riset dalam psikologi klinis
dengan riset dalam psikologi abnormal atau psikopatologi. Secara kasar, sebagai
misal, dapat dikemuakakn bahwa dalam riset psikologi abnormal atau
psikopatologi, kegiatan riset yang dilakukan memakai metode induktif dengan
maksud membangun kaidah – kaidah mengenai segala hal yang menjadi wilayah
cabang ilmu ini, misalnya mengenai sebab umum gangguan atau hubungan antara
timbul dan berkembangnya suatu gangguan jiwa dengan kultur suatu komunikasi
tertentu. Sementara dalam psikologi klinis, riset dilakukan dengan metode
deduktif mengenai faktor dan perubahan apa saja yang terjadi dalma suatu
gangguan atau seberapa jauh efek dari suatu terapi tertentu berhasil dalam
menangani gangguan tertentu pada orang – orang dari lapisan atas, menengah,
atau bawah, maka dalam psikologi klinis tujuannya adalah menguji efektifitas
penggunaan kaidah – kaidah tersebut.
Satu lagi alasan diselenggarakan
asesmen klinis adalah untuk menyajikan kepada seseorang, informasi mengenai
dirinya sendiri, sehingga dapat membuat keputusan bagi diri mereka sendiri.
Misalnya, keterangan mengenai apa sebabnya seorang klien merasa kurang tentram.
Pemeriksaan dalam rangka asesmen kadang – kadang memadai bagi individu untuk
memahami kondisinya sendiri, dan pengetahuan akan masalah diri sendiri ini bisa
jadi akan mengurangi atau bahkan menghilangkan penderitaannya.
Sumber: Pengantar Psikologi Klinis. Edisi revisi. Prof. Dr.
SUTARDJO A. WIRAMIHARDJA, Psi. (Hlm. 67 – 69).
0 komentar:
Posting Komentar