Pada zaman sebelum Masehi, jiwa
manusia sudah menjadi topik pembahasan para filsuf. Saat itu, para Filsuf sudah
membicarakan aspek – aspek kejiwaab manusia dan mereka mencari dalil,
pengertian, serta berbagai aksioma umum, yang berlaku pada manusia.
Ketika itu, psikologi memang
sangat dipengaruhi oleh cara – cara berpikir filsafat dan terpengaruh oleh
filsafatnya sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena pada ahli psikologi pada
masa itu adalah juga ahli – ahli filsafat atau para ahli filsafat waktu itu
juga ahli psikologi.
Sebelum tahun 1879, jiwa
dipelajari oleh para filsuf dan para ahli ilmu faal (fisiologi), sehingga
psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut (Fauzi, 1977 ; 14).
Selain pengaruh dari ilmu faal, psikologi juga dipengaruhi oleh satu hal yang
tidak sepenuhnya berhubungan dengan ilmu faal, meskipun masih erat hubungannya
dengan ilmu kedokteran, yaitu hipnotisme(Dirgagunarsa,
1996 : 36). Menurut Singgih Dirgagunarsa, hipotisme timbul karena adanya
kepercayaan bahwa dalam alam ini terdapa kekuatan – kekuatan yang misterius,
yaitu magnetisme. Paracelsus (1493 –
1541), seorang ahli mistik, menunjukkan bahwa dalam tubuh manusia terdapat
magnet yang sama halnya dengan binatang – binatang di langit dapat mempengaruhi
tubuh manusia melalui pemancaran yang menembus angkasa. Dalam hubugan itu, Van
Helmont (1577 – 1644) mengemukakan doktrin Animal
magnetism, yaitu “Cairan yang bersifat magnetis dalam tubuh manusia dapat
dipancarkan untuk mempengaruhi badan, bahakan jiwa orang lain” (Dirgagunarsa,
1996:36).
Para ahli filsafat kuno, seperti
Plato (429 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), telah memikirkan hakikat
jiwa dan gejala – gejalanya. Pada zaman kuno, tidak ada spesialisasi dalam
lapangan keilmuan, sehingga boleh dikatakan bahwa semua ilmu tergolong apa yang
disebut filsafat itu. Sementara ahli filsafat ada yang mengatakan bahwa
filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Sebagai induk ilmu pengetahuan,
filsafat adalah ilmu yang mencari hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan
dan jawaban secara terus – menerus, sehingga mencapai pengertian yang hakiki
tentang sesuatu. Masa itu belum ada pembuktian
- pembuktian empiris, melainkan berbafai teori dikemuakan bagian dari
filsafat dalam antri yang sebenarnya.
Filsafat itu sendiri dari bahasa
Yunani, philesophia, dan philos, cinta; atau philia, persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, keterkaitan
pada, + sophos, orang bijak; atau sophia, kebijakan, pengetahuan, keahlian
atau pengalaman praktis, inteligensi. Bakry (1971 : 11) mengatakan bahwa
filsafat ialah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mengadakan mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikat dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia telah mencapai pengetahuan itu.
Pada abad pertengahan, psikologi
masih merupakan bagian dari filsafat, sehingga objeknya tetap hakikat jiwa,
sementara metodenya masih menggunakan argumentasi logika.
Uraian oleh para filsuf abad
pertengahan umumnya berkisar seputar ketubuhan dan kejiwaan. Berbagai pandangan
mengenai ketubuhan dan kejiwaan dapat digolongkan dalam dual hal, yaitu
(Dirgagunarsa, 1996 : 17):
- Pandangan bahwa antara ketubuhan dan kejiwaan (antara aspek psikis dan fisik) tidak dapat dibedakan karena merupakan suatu kesatuan. Pandangan ini disebut Monism.
- Pandangan bahwa ketubuhan dan kejiwaan pada kahikatnya dapat berdiri sendiri, meskipun disadari bahwa antara kejiwaan dan ketubuhan merupakan suatu kesatuan. Ini disebut dualism.
Tokoh – tokoh abad pertengahan, antara lain: Rene Descrates (1596 – 1650) yang terkenal dengan teori tentang kesadaran,Gottfried Wilhelm Leibniz (1646 – 1716), yang mengutarakan teori kesejajaran psikofhisik (psychophysical paralellism), John Locks (1932 – 1704) dengan teori tabula rasa.
Sumber: Psikologi Umum. Drs. Alex Sobur, M. Si. (Hlm. 73 –
74).
0 komentar:
Posting Komentar